Beranda Maluku Utara Dunia Bahasa Dan Kekerasan Simbolik Dilan

Dunia Bahasa Dan Kekerasan Simbolik Dilan

965
0
Yusran S Sangaji

Oleh :Yusran S Sangaji
Koord. Presidium SAMURAI-Maluku Utara

Konstruksi budaya dengan membaca dan menulis. Maka kau akan keluar dari penjara
atas dominasi realitas simbolik. (3-12-2017, Yoes Sangaji).

Didalam kehidupan Melia, adalah seseorang yang intens berkomunikasi, dan
posisi Dilan cenderung memanfaatkan komunikasi itu untuk mengendalikan ruang
gerak Melia. Aturan inilah yang dieksploitasi patriarkisme Dilan untuk memerintah
akan dunia Melia. Nasib Melia seperti tak pernah berubah dari masa ke masa.

Konon, ini sudah menjadi budaya dan mendara daging. Dalam ungkapan jawa, “awan theklek mbengi
lemek”, artinya; siang menjadi alas kaki dan malam menjadi alas tidur (Setiawan, 2012).

Pilihan berat itu seperti penjarah bagi hidup dan kehidupan Melia. Masa depan Melia
tak mendapat tempat di dunia ini. Bahasa agama tak mesti dijadikan alat legitimasi
untuk memenjarakan Melia.

Sebab Melia memiliki hak sama diruang publik. Selain itu, kita mesti prihatin bagaimana regulasi dan undang-undang yang semakin menyudutkan Melia di ruang publik.

Teringat pesan “Almarhum Bung Karno”, sejarah perempuan belum usai. Ini bukan karena rezimnya patriarki saja, tetapi visi sentrisme yang mengabdi pada susunan masyarakat kapitalis. Pada akhirnya Melia menjadi objek permainan kapitalisme.

Lantas apa kekuatannya? maka tak lain bahasa sebagai kekuatan strategis Dilan untuk melumpuhkan dunia Melia. Bahasa dan kekuasaan, adalah masalah. Bahasa ini disusun dalam tataran pikiran politik Dilan dalam hirarki politik.

Strukturalisasi tersebut berproses didalam agama, dan budaya. Pada akhirnya
menjadi ekspolitasi yang masif.
Kita bisa lihat dimana-mana, termasuk kata yang tertulis di spanduk atau baliho
tentang, “relawan kebaikan”. Dari sini, pesan realitas simbolik atas dominasi kekerasan
terhadap pihak atau kelompok lain juga ikut bermain.

Dalam konteks ini, kita mesti
pandai berusaha mencari “kode tersembunyi” dibalik gejala sosial dan politik yang
terjadi. Sebab filsafat bahasa Dilan menerapkan pada konteks kebudayaan sebagai keseluruhan dogma bahasa. Cara seperti inilah yang disusun dalam struktur bahasa kekuasaan dan dipertahankan oleh manusia serta mengelompokan dunia menjadi miliknya.

Saya kira, kita memerlukan sistem yang “acak” untuk menemukan premis
kebenaran. Ketika kita dikelompokan dalam “relawan kebaikan”, apakah tak ada
kejahatan? Atau kita sebagai pelaku dari kejahatan itu? Semua permainan dalam tataran bahasa adalah simbol kekuasaan, sebagaimana diatur dalam dunia filsafat Dilan.

Tanpa sadar, kejahatan dan kekerasan simbolik terjadi ke dalam tubuh manusia. (Pierre Bourdieu).
Selain konklusi diatas, adapun kata “lajang”, yang menunjukkan status pada
Dilan.

Tetapi pada Melia, kata itu membawa stigma, semacam istilah psikologi, budaya,
dan agama, dipahami oleh Dilan sebagai keahliannya, dan Melia hanyalah obat bagi
Dilan saja. Nah, dari sinilah bahasa sebagai otoritas kekuasaan.

Karena dalam bahasa mewakili hegemoninya. Pendek kalimat, bahasa kita memiliki kekuasaan. Lihat saja, aktivitas kita sehari-hari, ketika bahasa itu diucapkan, maka kekuasaan semakin bekerja.

Salah satunya adalah anggota DPR yang memberi gelar dirinya sebagai “wakil rakyat, serta berkuasa atas nama “rakyat”. Pertanyaannya adalah, berkuasa untuk
siapa? Kan sangat aneh bila jawabannya “ berkuasa terhadap rakyat”.

Hukum identitas akan menertawakan logika itu, aneh jika pemerima perintah, menyuruh si pemberi perintah. Padahal dirinya mewakili perintah dari “rakyat” bukan dari partainya.
Belakangan ini, isu UU MD3, membuat manusia Indonesia angkat bicara masing-
masing.

Isu itu, Rocky Gerung di undang sebagai pembicara dalam (Indonesia Lawyers
Club) dengan tema “Revisi UU MD3, DPR Semakin Sakti”. Menurutnya, DPR itu bukan
representasi rakyat, karena kedaulatan tidak bisa direpresentasikan.

Kedaulatan itu bukan data yang bisa dipinda-tangankan, kedaulatan adalah abstraksi dari keinginan untuk mencegah supaya demokrasi tidak menjadi mayoritas.

Yang bisa direpresentasikan adalah mayoritas (suara). Tetapi kedaulatan itu pengaturan ide. Didalam ilmu hukum disebut “ide pengatur” yang tidak mungkin dikuantifikasi, sebab begitu dikuantifikasi, hilanglah kedaulatan.

Padahal DPR adalah delegasi rakyat.
Artinya, mandatnya bisa ditarik kembali. Bayangkan kalau kedaulatan dikasih
semuanya, lalu apa dasarnya rakyat mau tarik.

Jadi kalau ada kritik publik terhadap UU MD3, itu dasar filosinya adalah karena kedaulatan tidak diserahkan total ke DPR. Apa
yang diserahkan, tentu kepentingan politik. Dari situlah, kita paham kenapa kedaulatan
rakyat dan kepentingan politik terus dipertandingkan setiap pemilu.

Kedaulatan tidak bisa dipertandingkan. Karena kedaulatan telah final. Selain itu,
anggota DPR di utus untuk watch pemerintah. Sekarang UU MD3 itu menggonggongi
rakyat, “kan ajaib”.

Negara semakin terlihat buruk, atas kebijakan politik. Seperti itu, dari bahasa Dilan, diucapkan utuk mendominasi kekuasaan. Bahasa dari, oleh, dan untuk tujuan utama, menciptakan dunia yang di inginkan. Seperti itu dianggap efektif dipraktekan untuk mengontrol satu dengan yang lain. Karena bahasa memiliki unsur kekuatan tersendiri, demi mengubah bagaimana dunia diciptakan. Kekuasaan simbolik adalah menciptakan dunia miliknya “wakil rakyat”.

Dengan memiliki kekuasaan simbolik, “wakil rakyat” mudah menghancurkan, memisahkan atas atau bawah, kuat atau lemah, bahkan juga benar atau salah. Semuanya dapat dicapai melalui penguasaan dan pemahaman yang dipakai oleh dunia Dilan, dan juga penuh strategis.

Bourdieu melihat bahwa disinilah letak inti hubungan antara bahasa dan kekuasaan. Eufimisasi dan sensorisasi sebagai mekanisme kekerasan simbolik sangat efektif dilakukan dengan bahasa.

Dunia ini, adalah dunia paling tuntas, karena (bab) miliknya. Urusan tersebut
tak lain dari pekerjaan Dilan, soal Melia kedua. Mengingat, Melia secara mental dan
ideologi lemah, dari situlah Dilan menganggap Melia tak kuat, biar Dilan saja…!!!

Bahasa kita akan berhenti ketika penguasa mulai bekerja. Dikasus ini, kuasa
tidak membudayakan dirinya, melainkan memamerkan kedunguannya. Tetapi, sekali
lagi, kekuasaan akan menampilkan normal melalui intonasi yang diulang-ulang di ruang
sidang, “kita, wakil rakyat yang terhormat”, yang berarti, “sang wakil” lah yang
terhormat, bukan “sang rakyat”.

Jadi memang politik, budaya, agama adalah pelanggan utama “hierarki”, yaitu
struktur utamanya adalah bahasa. Di dalam hierarki itu, kita mendefinisikan orang lain,
kita membatasi orang lain, kita memperalat orang lain, kita merendahkan orang lain.

Jadi bahasa bukan sekadar mendeklarasikan posisi, tetapi juga mendeklarasikan
distingsi. Bahasa sebagai alat komunikasi, entah baik atau buruk, dipakai untuk
mengendalikan hirarki.

Itulah politik bahasa. Ia mengucapkan kehendak, melampaui tata bahasa. Sesungguhnya, bahasa bukan saja komunikasi, melainkan penggalangan
kekuasaan.

Disitulah Melia menjadi korban utama dari struktur itu. Berpikir dalam hierarki
bukan kebiasaan Melia. Bahasa Melia tumbuh dalam pengalaman ketubuhannya. Melia
melahirkan human politics.

Ia memelihara dan membesarkan generasi human politics. Karena itu ia menghendaki politics of justice. Dilan cenderung memaksakan tataran bahasa ethics of rights, untuk memastikan kekuasaan. Karena itu, penundukan adalah keutamaan bahasa Dilan.

Ia melanggengkan politics of power. Ilmu politik, budaya, dan agama ditulis dalam tata bahasa Dilan. Bila Melia yang
gagal mengucapkan pikiran, Melia disebut tidak mampu berpikir, dan bila Melia
mengucapkan kecerdasan, Melia dianggap sesat.

Padahal struktur bahasa Dilan yang
tidak mampu memahami “pikiran Melia yang bertubuh”. Agama bahkan mengendalikan
pikiran sekaligus tubuh perempuan, lalu memaksa hukum negara mengkriminalkannya.

Dunia Melia itu melahirkan human politics. Tapi dunia Dilan yang kemudian
“mengasuhnya”, yaitu agama, politik, dan budaya. Ketiganya itu yang saya maksud
sebagai keutamaan dunia Dilan yang mengendalikan peradaban, melanggengkan
hierarki, menyebarkan kekerasan simbolik serta mewariskannya.

Untuk itu, politik feminis bekerja demi persamaan hak sepenuhnya antara Dilan
dan Melia diruang publik. Bukan kekuasaan dan kekerasan. Karena itu, dunia bahasa
Dilan di akhiri dengan dunia perjuangan Melia.

Dari situlah keadilan, dan etika politik
bertumbuh. Sehingga memungkinkan terwujudnya kesetaraan makhluk secara
bersama. Dengan bahasa ini yang kita lakukan, perlunya ujung bahasa yang diucapkan tidak ada lagi bahasa Dilan, melainkan distribusi keadilan. Dari sini, kita semua harus jedah ulang.

Pemikiran bersama-sama, menciptakan kesetaraan human politics akal
sehat, bukan politik akal samping. Sekian***
#Catatan :
Dilan : (Sebutan untuk Laki-Laki)
Melia : (Sebutan untuk Perempuan)