Beranda Ruang Kita Sarjana Lahir dari Sebuah Ironi

Sarjana Lahir dari Sebuah Ironi

821
0

Oleh:  Nasrullah La Madi
Ketua Komunitas Literasi Terpadu (KUBUSTER) Maluku Utara

Saya pernah begitu membenci sebuah lembaga yang bernama sekolah. Pertama, lantaran saya tak tahan menghadapi keangkuhan para guru. Kedua, karena saya pikir, sekolah menghambat kehendak saya untuk menggeluti dunia sastra. Dan ketiga, sebab sekolah justru membuat saya merasa kian bodoh.

Saya pernah begitu membenci diri saya sendiri. Lantaran hingga saat masih tenggelam dalam dunia sekolah, saudara, atau orang tua saya yang menginginkan saya memiliki gelar, menjadi sarjana. Apa pun bidangnya.

Saya pernah menolak menjadi manusia. Lantaran saya senantiasa dihadapkan pada keadaan yang sama sekali saya tak kuasa mengatasinya. Saya hidup seperti sebutir partikel asing yang tersesat di segumpal virus AIDS. Tak tahu apa, mengapa, dan mesti bagaimana. Saya menolak, lantaran hidup saya telah begitu cerdik dan licinnya digiring ke satu arah. Oleh sekolah, dan saya kalah.

Lalu saya teringat nyanyian semasa kuliah, saat asyiknya saya bergaul dengan teman-teman seniman jalanan.
Buat apa sekolah
Kalau hanya menciptakan
Badut-badut yang haus kekayaan
Bapak simpan saja uangmu
Buat beli tanah kuburan
Aku ingin bermain dalam kegelapan
Menghayati kemiskinan dan kelaparan

Memang lucunya masa kuliah dulu. Lucunya idealisme di tengah miskinnya Ide. Gagasan menjadi benalisme pada saat intelektual jadi pengisi etalase kebudayaan yang setiap saat siap diturunkan. Diganti dengan mannequin yang lain.

Idealisme Selembar Ijazah

Selembar ijazah tergolek di tangan saya. Seperti penari ronggeng yang membiusnya di tempat tidur. Seperti komoditi terhangat yang siap ditawarkan. Saya lemparkan ijazah itu ke toko-toko, ke hotel, kantor-kantor pemerintah, yayasan-yayasan, dan lembar besi orang tuaku. Bapak, yang tengah sibuk dengan jabatan di sekolahnya, menata ijazah itu dalam silsilah keluarga yang kuliah.

Saya seperti melihat museum. Di mana pendidikan tersimpan bagai kuburan Cina yang rapuh. Pendidikan telah meninggalkan idealismenya, untuk menjadi penghuni sejarah yang purba. “Pendidikan” seperti telah dikhianati oleh misi asalnya sendiri. Sebab pendidikan saat ini bukan lagi dipergunakan untuk membuat manusia mengenali diri dan lingkungannya. Namun, ia menjadi sebuah sistem di mana manusia dipersiapkan, dibekali, direkayasa, untuk menghadapi kenyataan artifisial yang tak dapat dikenal oleh manusia penciptanya sendiri.

Maka lahirlah kembali, manusia untuk kedua kalinya. Berselempang gelar dan toga,yang ia sendiri mungkin tak paham apa fungsi dan maksudnya, sehingga Bapak dan Ibu tak bisa mengakui dirinya sebagai orang tua lagi. Dan rahim Ibu menjerit karena kehilangan anaknya. Semua anak telah dilahirkan kembali oleh ironi pendidikan moderen.

Pendidikan yang telah membungkus kenyataan lewat selimut kata-kata dan retorika saintik. Dan manusia tak lagi mengenal daun dari kelembutan bulunya, atau embun yang membasahi permukaannya. Daun telah mengalami metamorfosa, secara semantik maupun gramatikal. Kita sudah tak lagi memiliki daun, sebagai mana kita tak lagi memiliki dunia ini.

Sebab dunia sudah dimiliki oleh pengertian-pengertian yang definisinya menyerah pada satu otoritas berskala global. Oleh karena itu, kita Cuma bisa menjerit saat Palestina dirusak bom oleh Israel, dan tenaga kerja asing yang menyerbu Indonesia. Bukan kita yang memutuskan, hendak menjadi apa kita. Bukan kita yang memutuskan!

Kita sudah tidak memiliki diri kita sendiri. lihatlah gedung-gedung besar di perkotaan. Di balik kaca-kaca tebal yang transparan, manusia-manusia bertoga mengintip kursi-kursi yang barangkali masih kosong. Lihatlah toga-toga menyusun tali organisasi, sambil menyelipkan blanko rekomendasi. Lihatlah, toga-toga bicara tentang kenyataan, seperti menghisap nikotin lewat busa filter dan membumbungkan asapnya dengan bulatan-bulatan.

Siapa yang memaksa mereka berjejer di depan etalase budaya seperti itu? Bukankah mereka sendiri. Kalau dua kali manusia kalah (dan menyerah), ketika ia harus lahir dan mati, kali ini kembali manusia kalah (juga menyerah), ketika ia mesti hidup dalam dunia yang hampir seluruhnya telah berganti rupa. Menjadi televisi, jadi internet, jadi roket, bom kimia, sarjana, filim, buku teks, atau ketetapan-ketetapan politik. Tak satu pun yang dapat menolaknya. Tidak juga kau (kata Chairil Anawar). Tidak juga Aku.