Oleh : Syaiful Bahri Ruray
Sejak kecil kata benteng adalah kata yang lumrah didengar telinga saya karena kota kelahiran saya, Ternate, terbentang berbagai benteng peninggalan kolonialisme masa lalu. Setelah dewasa barulah saya sadari bahwa benteng tersebut meninggalkan cerita panjang pada masing-masing momentumnya, bahkan berdarah-darah. Betapa petualangan dan perjalanan sejarah modernisasi 500 tahun terakhir tersisa pada benteng-benteng ini. Maklum saja Ternate adalah kota kecil yang menyisakan benteng masalalu terbanyak di dunia, sayang sekali jika hal ini tidak disadari anak negerinya dengan benar. Karena dengan luas hanya 42 kilometer kota kecil ini memiliki tujuh benteng.
Okelah itu sebuah potret masa lalu yang fenomenal, namun tidak kita sadari juga bahwa hingga lima abad kehadiran benteng-benteng tersebut, kita hari ini juga masih terperangkap dalam logika dan mindset bentengisme. Benteng adalah tembok kokoh yang dibangun penguasa masalalu untuk mengokohkan kehadirannya sekaligus sebagai titik pertahanan dan sekalian sebagai simbol identitasnya. Strata sosial masa lalu dibedakan antara lain dari penghuni benteng dan masyarakat diluar benteng. Tahun lalu saya berkunjung ke Roma dan melihat bentuk benteng era Romawi sebagai negara kota atau city state (lo stato). Pada era Romawi jelas berbeda perlakuan hukum antara penduduk di dalam benteng dan diluar benteng. Benteng kuno itu terpelihara dengan apik sebagai monument sejarah oleh pemerintah Italia modern sekarang. Karena konsep awal negara modern sekarang juga berawal dari simbol benteng-benteng ini.
Adapun bentengisme adalah sebuah sikap membatasi diri, untuk membedakan kita dan mereka. Bahwa kita berbeda dengan mereka dan mereka bukan kita. Berbagai cara dilakukan untuk untuk mempertegas identitas kita, seakan tanpa dentitas kita akan menjadi mereka dan hilang akan harga diri kita. Masing – masing kitapun dengan giat bahkan juga kekerasan mempertahankan identitas kita dengan mempertahankan benteng diri, kelompok, sosial terhadap serangan mereka yang bukan kita. Di dekat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Belandapun mendirikan benteng kokoh untuk memata-matai dan mengawasi kegiatan keraton. Kita tahu kas Belanda hampir bangkrut karena seorang Pangeran Keraton Jogja yang kesatria peningit, Pangeran Abdul Hamid Diponegoro, memimpin perang Jawa pada 1825-1830. Pasukan Belanda sangat kewalahan hingga harus memakai tipu daya de’Kock untuk menangkap Diponegoro. Mirip tipu daya Dom Diego Lopez Mequitta, Gubernur Portugis di Ternate, untuk membunuh Sultan Khairun Jamil (1570) dalam jamuan makan resmi di benteng Nuestra Senhora del’Rosario, Kastela, Ternate. Benteng Rotterdam di Makassar juga dibangun dengan tipu daya untuk monopoli perdagangan rempah-rempah oleh Belanda di timur Nusantara berdasarkan perjanjian Bongaya (1667), antara Cornelis Speelman dan Sultan Hasanudin, Raja Gowa. Perjanjian mana turut melumpuhkan perdagangan di Maluku. Artinya benteng adalah simbol identitas untuk menindas dan menguasai mereka yang diluar benteng. Penduduk lo’stato (negara kota) atau negara benteng, di Romawi, berbeda pajak dan perlakuan hukumnya dengan mereka yang diluar benteng. Jan Pieterzon Coen, juga membangun Batavia dengan pembatas benteng untuk mencegah pasukan Sultan Agung yang dua kali menyerang Batavia (1628-1629).
Kita pun mengalami hal serupa. Indonesia dibagi berdasarkan Indische Staatregering atas 3 golongan sosial yakni golongan Eropa (termasuk Jepang dihitung sebagai Eropa), Timur Asing dan Boemipoetra (inlander). Adapun Inlander ini adalah mereka diluar benteng dan derajatnya terrendah walaupun ia sesungguhnya adalah pemilik negeri. Sama halnya dengan bangsa Eropa ketika menduduki benua Amerika sejak Christopher Columbus (1492) hingga Hernando Cortez menginjakkan kakinya di benua baru tersebut, anak negeri suku Maya, Aztec dan Indian tersingkir dan menghilang, menjadi kelompok pinggiran hingga kini. Bahwa potret dunia modern sekarang adalah implikasi dan refleksi dari sikap bentengisme sejak masa lalu tersebut.
Bentengisme Modern.
Politik kita pada abad 21 inipun tidak lepas dari sikap bentengisme yang membedakan kita dan mereka. Donald Trump mencoba membuat tembok pembatas antara Amerika Serikat dan Mexico sepanjang 3000 km lebih, untuk membatasi warga Mexico memasuki negaranya. Juga membatasi 10 negara Muslim untuk memasuki Amerika, walaupun Jaksa Agung Amerika menentang kebijakan tersebut karena sikap membentengi diri sendiri ini melawan konstitusi Amerika dan semangat ‘Declaration of Independence’ (1776) sendiri. Benjamin Netanyahu juga membangun tembok panjang untuk membentengi Israel dari penyusupan Palestina. Lama kita tahu sejak era Perang Dingin Kota Berlin di belah oleh tembok Berlin (1961) yang baru saja diruntuhkan pada 1989. Dalam situs sejarah banyak citadel yang dibangun oleh Salahuddin Al-Ayubi selama Perang Salib untuk kepentingan identitasnya. Lebih tua lagi adalah tembok China (The Great Wall) dibangun dinasti Ming sepanjang 8.851 km untuk tujuan yang sama. Betapa monument-monumen tersebut ada didepan mata kita dan hingga kini belum juga menjadi pelajaran bagi kita akan hakikat makna sebenarnya. Bahkan China modern sekarang membangun benteng di pulau Sengkaku (Spratley Islands) dewasa ini walaupun kepulauan tersebut masih disengkatakn lima negara kawasan. Sengketa Laut China Selatan ini sesungguhnya adalah sisa peninggalan kolonialisme masa lalu antara Spanyol, Portugis, Perancis hingga Inggris pada masa lalu. Hasrat berkuasa umat manusia menciptakan benteng dirinya untuk menguasai mereka diluar dirinya. Dan itu menyisakan sengketa tiada habisnya hingga kini. Manusia adalah binatang politik, zoon politicon, kata Aristoteles.
Bagi kita di Indonesia, memasuki tahun-tahun politik sekarangpun tak luput dari terperangkapnya kita dalam sikap bentengisme. Masing-masing kita menyiapkan bahkan membangun benteng kita dengan identitas partai politik, beda kelompok, agama bahkan etnis dan uang, untuk tujuan berkuasa. Bentengisme semakin subur saja karena argumentasi program apalagi ideologi bukan orientasi lagi. Akan ada pengulangan peristiwa de’Kock atau Lopez Mesquitta bagi lawan-lawan politik dengan memanfaatkan media sosial ataulah memperalat hukum untuk melumpuhkan lawan. Mengutip Thomas Hobbes (Leviathan) : homo homini lupus, bellum omnium contra omnes (the war of all against all), seakan terjadi. Identik dengan roman Romo Mangunwijaya tentang Halmahera : Ikan hiu, hido dan homa yang saling mencaplok. Bahwa politik kontemporer kita tidaklah beranjak jauh-jauh dari fenomena lima abad lalu.
Adalah mungkin sekali sejarah sering berulang (histoire se’repete). Sayangnya kita bangsa amnesia sejarah, sering melupakan sejarah karena memori kita yang demikian pendek.
Pojok Warkop Jarod, Ternate.
4 Desember 2017