TERNATE – Pagi itu cuaca sangat tidak bersahabat, sambaran petir sesekali terlihat di arah utara Gunung Kie Matubu, Kota Tidore Kepulauan. Sisi lain awan hitam memayungi Gunung Gamalama, hujan berlahan-lahan membasahi Kota Ternate, Kamis (14/12/2017).
Setelah semalaman tidak bisa tertidur sayapun beranjak dan menuju Pelabuhan Kota Baru, Ternate Tengah. Berselang 15 Menit kemudian, nuansa masa kanak-kanak kembali memutar waktu di kala bersama kedua orang tua saya sampai di Pelabuhan Dufa-dufa.
Dahulu ingatan itu sekitar tahun 1998 pelabuhan ini tidak ada reklamasi, Pasir hitam membentang di sepanjang pantai, riuh bunyi suara mesin motor kayu (Kapal Kayu berukuran Kecil) terus terdengar.
Ingatan itu tiba saja muncul disaat mata tertuju pada kesibukan puluhan pedagang dari Pulau Tidore, menggunakan motor kayu yang datang untuk berjualan di Ternate.
Ci San salah seorang pedagang saat diajak berbincang berkata, “Kami selalu datang untuk berjualan di Kota Baru, tetapi tidak setiap hari hanya pada hari-hari tertentu saja kami berjualan seperti hari Sabtu dan Kamis”, begitulah penjelasan singkatnya.
Meski pada kehidupan modern ini, pemerintah telah menyediakan tempat berjualan khusus untuk mereka, seperti Pasar Barito, Pasar Bahari, Pasar Percontohan dan masih banyak lagi yang ada di Kota Ternate ini, akan tetapi mereka masih menjaga tradisi ini hingga saat sekarang.
Tradisi yang mengajarkan cara bersosialisasi, tradisi yang menuntun kita pada kebersamaan dan tradisi yang mengarahkan kita pada ketulusan, di pasar tradisional inilah semua menjadi satu dalam keberagaman. (HT)