Penulis : Anggel Dwi Satria Penikmat Alam Semesta
Duduk di bebatuan bibir pantai Falajawa, hasil reklamasi kurang lebih 6 tahun silam. Aku
memandang jauh lepas, sepanjang mata memandang yang nampak gelombang lembut air laut yang membiru, gunung dan bukit-bukit yang menancap gagah, kapal-kapal nelayan yang singgah dan bersiap untuk memecah lautan. Aku melirik ke kiri, nampak pula dermaga yang diujungnya terdapat anak-anak berumur sekitar 12 hingga 17 tahun sedang asik bermain hingga tertawa lepas lompat ke laut secara bergantian dan berulang kembali.
Hangatnya fajar menambah syahdunya pagi ini. Aku duduk, aku buka handpone berukuran 5 inci, tak sabar untuk menuliskan suasana keindahan dan kemesraan ini. Tidak ada rekayasa. “Tidak ada” batinku. Lagu Joan Baez “Donna-Donna” entah kenapa mendapat giliran terputar di handphone-ku.
Seketika itu pula menjadi pengiring lagu di dalam pikiranku. Sembari memikirkan kata-kata yang menggambarkan suasana ini, Aku merasakan kenyamanan dan kejernihan pikiranku, meskipun Aku tau kosa kataku sangatlah terbatas untuk mengungkapkan ke-Agung-an ini.
Bahkan air laut yang nampak dihadapanku, yang tak tahu dimana ujungnya, juga takkan mampu menuliskan begitu banyak suasana keindahan ini, begitu indah, Maha Karya. Lihatlah anak-anak itu yang sedang berenang diujung sudut dermaga. Tak ada penat, hanya ada kemesraan dengan air laut di pinggir pantai.
Mereka saling menyemburkan air laut ke badan temannya, tak mau kalah dan saling bergantian. Itulah kemesraan nyata. Air laut juga terlihat menggoda jahil dengan gelombang-gelombang ombak lembut yang ia keluarkan.
Kemesraan tanpa syarat, lepas. Anak-anak itu makin bersemangat. Lihatlah Kapal-kapal nelayan itu yang sedang terikat dengan tali oleh tuannya. Makin fajar menampakkan diri, makin keras gelombang ombaknya, terlihat kapal-kapal makin bersemangat. Lihat dan perhatikan! Terus bergerak seiring kerasnya ombak. Seolah ingin melesat, memecahkan
laut, dan mengarungi samudera. Menari-nari di atas iringan syahdu air laut. Begitulah cara laut mengambil momen kemesraan dengan kapal-kapal nelayan.
Lihat gunung dan bukit-bukit di seberang pulau. Begitu kokoh, gagah, dan kuat menancap hingga ke dasar laut. Begitu kokoh menjaga dari guncangan lempeng-lempeng bumi. Dibalik kesan “garangnya” sang gunung dan bukit-bukit menampakan wajah “keibuan”; begitu hijau, asri, teduh, dan menyejukkan.
Ini karya Maha Indah, begitu rumit jika dipikirkan, tapi sederhana jika dinikmati. Semua harmonis berirama, dan mesra. Aku hanya penikmat, sejenak melepas lelah dan mengeringkan keringat. Ingin sekali berlama-lama menikmati Maha Karya ini. Inilah inspirasi Indonesia sesungguhnya. “Jikalau
alam bisa semesra ini, kenapa kita tidak bisa?” Batinku sembari menghela napas.
Lagi-lagi isu persekusi, intoleransi dan deskriminasi menjadi bumbu-bumbu pemecah anak bangsa akhir-akhir ini. Kemesraan pun memudar. Hanya kepalsuan dan tawa nyinyir bercampur sikap arogan para elit yang nampak.
Seandainya kita mengerti dibalik jahilnya air laut, namun ia menjadi faktor penyemangat anak-anak bermain dan kapal-kapal yang siap mengarungi samudera. Dibalik “kearogansian” sang gunung, ia selalu dapat menghadirkan kedamaian, keindahan dan kesejukkan bagi siapa saja. Ia juga tak lupa dengan tanggung jawab utamanya yang selalu siap menjaga dan meredam getaran disaat lempengan bumi bergerak yang bisa mengancam siapa saja.
Sejenak merenungi, kenapa kemesraan alam tetap ada sampai saat ini di tengah meredupnya kemesraan anak-anak bangsa? Dalam hati menjawab “Inilah keoptimisan Alam yang selalu menunggu hadirnya generasi bangsa yang dapat merawat kemesraan Indonesia”. Semoga!
Ternate, 17 Desember 2017