Beranda Maluku Utara Ikhtiar Menghidupkan Budaya Literasi

Ikhtiar Menghidupkan Budaya Literasi

717
0
Ilustrasi (Pixabay)

Oleh : Nasarudin Amin

Setiap yang diingat dari kenangan-kenangan yang terekam oleh kita, nama tempat, kisah heroik seperti perjuangan Sultan Khairun, Sultan Babullah, Sultan Nuku dan Sultan Banau yang melawan imperialisme Barat di Moloku Kie Raha (Maluku Utara), adalah hal-hal yang mungkin lambat laun bisa terlupakan.

Tidak jika semua kenangan atau cerita itu kita ikat menjadi sebuah dokumen tulisan, karena ketika membaca dan menulis sudah kita jadikan sahabat, maka ia akan terus kita bawa dan sangat mustahil ia bisa tercecer ditengah perjalan kita. Sebab meskipun satu per satu cerita berhenti menjadi kenangan, namun apa yang kita potret lalu kita tulis tentu akan terus begerak seiring harapan yang menyertainya hingga membuat kita tersadar bahwa cerita yang tadinya kita lupa ternyata cuma bersembunyi menunggu untuk kembali lagi.

Betapa hanya dengan memotret atau mendokumentasikan setiap peristiwa, kita bisa mengabadikan segumpal ceritra tentang perjalanan hidup ini, bukan hanya untuk kehidupan seekor mamalia, petani tua yang nyasar di pasar, sebuah konflik, anak-anak komunis yang merongrong bangkit lagi, atau cahaya bulan purnama ditengah pekatnya langit dikelelilingi bintang yang menyala kecil. Namun kita juga bisa menyimpan cadangan cerita untuk generasi masa depan sebagai sebuah roman yang layak untuk dikonsumsi.

Benar kelebihan manusia seperti yang dielu-elukan para pakar adalah mahluk yang memiliki kemampuan membuat dokumentasi hidup. Tetapi kesemuanya itu tidak bisa berjalan kalau kita tidak memiliki nalar meliterasi atau kemampuan membaca dan menulis yang diikuti kemampuan mengintegrasikan antara menyimak, berbicara, membaca, menulis dan berpikir yang sistematis. Itu sebabnya, untuk meromantisir budaya literasi, perlu proses panjang yang harus ditekuni, sebab ketika kita lengah maka semuanya tidak akan terlaksana dengan baik, sementara tujuan kita adalah melakukan gerakan literasi.

Dalam tradisi intelektual, literasi adalah cara kita bergaul dengan banyak orang, kalau begitu bagaimana dengan orang yang jarang membaca dan menulis, tentu kebiasaan itu masih tumbuh subur di daerah ini.

Sekarang ini mash banyak kita temukan orang yang malas membaca dan menulis. Kita harus jujur bahwa pada dekade ini kita mengalami krisis literasi. Ini bisa dilacak, ketika ada informasi yang diterbitkan yang mengandung nilai hoax, maka sangat banyak pembaca yang tanpa melakukan verifikasi terhadap kebenaran dari informasi itu langsung termakan dengan sendiri, tak heran, salah seorang akademisi UMMU menyebut, dalam skala perang asimetris bangsa kita telah kalah sebelum perang karena banyak generasi sekarang tidak memiliki konstruksi pengetahuan yang kokoh.

Ruang literasi yang hampir semuanya dirampas oleh media elektromekanis seperti radio, televisi, dan dan tetek-bengek lainnya. Jelas membuat kita semakin malas bersahabat dengan buku, semacam ada lompatan tahapan, dimana tahapan bertutur tidak lagi diselingi dengan membaca tetapi langsung melompak ke budaya menonton. Tak heran jika generasi muda termasuk orang tua ketika diminta membaca justru menganggapnya sebagai barang langkah, mereka lebih senang menghafal nama-nama artis di televisi dibandingkan tokoh-tokoh penulis.

Ironi fenomena pendidikan ini juga pernah disampaikan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Anies Baswedan.

Dalam sebuah media online, Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, budaya membaca di Indonesia sampai saat ini masih sangat rendah bahkan berdasarkan data dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menunjukan bahwa presentase minat baca Indonesia hanya sebesar 0,01 presen, artinya dari 1000 orang hanya satu saja yang memiliki minat baca dengan tingkatan serius.

Padahal pendidikan berbasis budaya literasi merupakan salah satu aspek penting yang harus diterapkan, bukan hanya di lembaga pendidikan, tetapi dalam kehidupan sosial masyarakat juga penting untuk menerapkan kebiasaan ini guna memupuk bakat yang terpendam dalam diri setiap masyarakat.

Apalagi sekarang ini kita masih dihantui dengan sindrom buta huruf yang kerap menjadi ancaman pendidikan tidak bisa maju. Kalau memang begitu maka dibutuhkannya strategi alternatif yang bisa dilakukan untuk menopang peningkatan kualitas sumber daya manusia Daerah ini.

Menjadi pegiat literasi di era digitalisasi
menjadi pelakon literasi di era digitalisasi, siapa takut? Setiap orang punya peluang dan hak untuk membaca dan menulis.

Memang tantangan terberat kita sekarang ini adalah mengajak masyarakat meninggalkan tradisi bertutur dan memasuki tradisi baca tulis, tetapi tantangan itu harus diterka dan diejewantahkan dalam sebuah komitmen gerakan literasi tanpa terkecuali sebagai ruang menambah wawasan dalam rangka mendidik generasi Indonesia cerdas.

Penulis membayangkan andai saja tradisi literasi ini sudah ditanamkan sejak dahulu kala, barangkali kita tidak hanya sekedar mengenal Colombus sebagai penemu benu Amerika, atau Galileo Galilei yang menyatakan bahwa ternyata bumi itu bulat.

Tetapi mungkin saat ini kita bisa berbangga diri karena dahulu kala para pahlawan di bumi rempah-rempah ini memiliki ketokohan yang menauladani banyak bangsa Eropa.

Karena itu penulis ingin menyerukan kepada seluruh generasi bahwa jangan pernah takut menjadi penulis. Bukankah membaca dan menulis itu seperti burung nuri belajar bicara, mana bisa hanya dengan berdiam diri di sarangnya, burung merah yang cantik itu bisa mematuki kebijian yang jatuh di tanah ?lalu masuk lagi ke sarangnya yang sempit lantas bisa bicara, semua terlalu sederhana dan otomatis.

Tapi siapa pula yang bilang kalau semua itu mustahil bisa terjadi ?.
Selama kita punya niat tentu ada caranya, tentu ada kiat memasak makanan, tidak mungkin hanya membiarkanya begitu saja lalu semuanya jadi matang dan siap disaji.

Mari kita belajar dari cara-cara itu, belajar bagaimana caranya menjadi pegiat literasi, perkara ini barangkali agak susah dimulai, tapi bagi penulis hanya dengan membaca dan menulis kita bisa hidup sebagai sejarah orang-orang modern meski kita sudah tiada, seperti Puisinya Khairil Anwar. “Gajah Mati Meninggalkan Gading, Manusia Mati Meninggalkan Nama”. Artinya bahwa kita hanya bisa dikenang ketika kita bisa mendokumentasikan jati diri kehidupan melalui peristiwa yang terpotret dalam bingkai peristiwa kehidupan kita.

Yang harus dipersiapkan bagi seorang penulis adalah memiliki wawasan yang luas, orang yang suka membaca belum tentu bisa menulis, tetapi bagi seorang penulis diperlukan bahan bacaan yang banyak, artinya jika kita ingin menjadi penulis maka kita harus perbanyak wawasan kita, dianalogikan, jika kita ingin menulis tentang sejarah maka kita harus berguru pada guru dan buku sejarah.

Jika kita ingin menulis tentang kondisi ekonomi Daerah maka kita harus pandai menspekulasi perkembangan ekonomi mulai dari lokal hingga regional.

Banyak tokoh yang bisa dijadikan panutan untuk menulis salah satunya penulis tertralogi pulau buru, Pramoedya Ananta Toer.

Dalam buku-bukunya, Pram (begitu sapaan akrabnya) beranggapan bahwa tulisan adalah obor sekaligus kemudi bagi sejarah, sehingga ia mampu menawarkan sejarah yang dipahaminya. Dengan karya tulisnya pula, Pram kemudian menawarkan Indonesia kepada dunia.

Tak ada yang lebih efektif dipahami Pram selain menulis, sebab terlalu pendek umur ucapan pidato atau orasi dibandingkan tulisan apalagi yang sudah diabadikan menjadi buku.

Baginya, dokumentasi tulisan adalah arsib maka wajar kalau usianya panjang. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Begitu kira-kira ungkapan Pramoedya Ananta Toer.