TERNATE – Tumpukan pasir berdiameter 2×2 berjejeran diatas bidang tanah dengan luas lebih dari 300 Meter, sepanjang bibir Pantai Kulaba, Kelurahan Kulaba, Ternate Barat. Maluku Utara, Sabtu (20/1/2018).
Langkah kaki menuju pantai yang diselimuti butiran pasir halus, diapit arah selatan batu angus sisa letusan Gunung Gamalama. Puluhan anak bermain di pantai sambil menunggu orang tua mereka mencari nafkah dari butiran halus sisa pelabuhan batu itu, yakni pasir yang menjadi penopang hidup sebagian masyarakat Kulaba.
“Disaat tak lagi musim panen cengkeh atau pala kami selalu dipantai untuk mencari nafkah anak istri kami”, ujar Ismail salah seorang warga yang ditemui wartawan di lokasi tambang tradisional itu.
Kisah dia, sudah sejak lama, turun temurun tuhan menciptakan alam ini untuk dapat diolah masyarakat, pasir adalah sumber pendapatan kami dan harta karun yang kelak diwarisi kepada anak cucu kami.
Seusai berbincang-bincang saya pun melanjutkan menikmati indahnya pantai yang memang jarang di kunjungi oleh wisatawan lokal.
Gelombang putih setinggi kurang lebih 1 meter terus bernyanyi ditelinga, sesekali terdengar suara anak-anak yang gembira menikmati pantai itu, canda, tawa kadang tangisan terdengar dari suara anak-anak.
Mata ini lalu tertuju di arah utara pantai itu, tiga orang anak terlihat begitu bersemangat mengangkut pasir, mereka adalah, Ikram Safrudin (12), yang saat ini duduk di kelas 4 SDN 9 Kota Ternate, Riswar Dani (12) dan Fadel Karim (12) kelas 5 SD di sekolah Mis kulaba Fakirudin, ketiganya saling berlomba mengangkut pasir yang dihargai Rp 300.000 sekali angkut.
Aktifitas ini diakui Ikram dilakukan selepas pulang sekolah, demi mendapatkan uang jajan lebih dan tambahan uang sekolah.
“Tong (Kami red) di pante setiap pulang sekolah, satu ret dong bayar 300 ribu, dia pe doi tong simpan bali baju, deng uang sekolah,” ucap Ikram sambil malu-malu menjawab pertanyaan.
Tambah Fadel, setelah terkumpul pasir yang mereka tampung, tidak serta merta langsung dibeli, mereka harus berusaha menawarkan kepada pembeli yang datang menggunakan mobil truk berukuran kecil.
“Dong tra langsung bali kaka, musti torang kadara kase tawar mu bali tong pe paser ka tarada e, bagitu kaka,” jelas Fadel kepada wartawan.
Sedangkan Riswar mengaku bahwa hal yang mereka lakukan ini diketahui orang tua mereka tetapi sudah menjadi hal biasa, orang tua merekapun tidak melarang selama yang dilakukan itu baik.
“Mama deng papa tra mara dong bilang asal jang manakal saja,” pungkasnya. (HT)