Sultan Tidore : “Indonesia harus membuka mata untuk memberikan rasa keadilan kepada rakyat Maluku Kieraha”
TERNATE – Tulisan sejarah Tuan Guru yang diwariskan secara turun temurun akhirnya mempertemukan keturunan ke-6 Imam Abdullah Qadhi Abdusalam atau dikenal dengan Tuan Guru di Afrika Selatan (Afsel), Selasa (5/12/2017).
Sultan Tidore Husain Sjah kepada Gamalamanews.com mengisahkan, bahwa rencana awal ke Afrika itu bermula ketika cucu Tuan Guru, bernama Syeh Hi Ervan, pernah berkunjung di Indonesia pada tahun 1993 untuk mencari tanah kelahiran leluhurnya, Ia berpatokan dengan amanah yang ditulis oleh Tuan Guru dalam catatan kitabnya.
Didalam catatan sejarahnya itu di tulis, bahwa akan datang suatu masa di generasi ke enam, dan di generasi ke enam inilah yang mempertemukan seluruh keluarga saya, baik di Afsel (Afrika Selatan) maupun di Tidore.
“Dan benar, kemarin yang mempertemukan kita adalah generasi ke enam, dari Afsel itu, Syeh Ridwan, Syeh Mutakin, Syeh Lukman, Syeh Bunyamin,” jelas Sultan Tidore.
Perjalanan itu adalah realisasi dari janji saya yang ingin berkunjung ke Afsel, dan ingin bertemu dengan saudara-saudara kami dari Maluku Kieraha sekarang Maluku Utara (Malut), keturanan dari Tuan Guru.
“Alhamdulilah itu baru terkabul pada tahun 2017, dan Alhamdulillah sampai disana (Afrika Selatan-red) baru saya tahu bahwa laki-laki yang bernama Imam Abdullah Qadhi Abdusalam adalah seorang laki-laki, yang begitu besar jasanya terhadap Bangsa Afrika, sehingga beliau begitu dihormati oleh seluruh masyarakat Afrika.
Ketika saya berkunjung dan diketahui oleh Pemerintah Afsel, (Presiden saat itu sedang di luar negeri), maka yang mengundang saya adalah Wakil Presiden Afsel, Mr Sir Ramoposa dan kemudian mengajak saya untuk menghadiri sidang Parlemen Afrika Selatan yang bertempat di Cape Town dan disana saya melihat sejauh mana Imam Abdullah itu dihormati karena jasa-jasanya, tutur Sultan Tidore.
Menurut Sir Ramaposa, mengutip apa yang disampaikan oleh Nelson Mandela ketika dibebaskan oleh Pemerintah Aperteit, beliau berkata bahwa Imam Abdullah Qadhi Abdusalam adalah inspirasi besar bagi rakyat Afrika Selatan, Beliau (Nelson Mandela) bahkan mengulang-ulang kata tersebut.
“Oleh karena itu saya pikir, bahwa kalau Imam Abdullah Qadhi Abdusalam, sampai di buang ke Afsel karena ingin membebaskan masyarakat Indonesia dan lebih khusus masyarakat Maluku Kieraha dari berbagai macam penindasan, perbudakan dan sebagainya, kenapa bangsa ini tidak memberikan penghargaan dengan memberikan gelar kepada Tuan Guru sebagai Pahlawan Nasional? Sementara di Afsel juga yang nota bene, beliau bukan rakyat Afsel tetapi begitu dihargai oleh Pemerintah Afsel dengan memberikan gelar Pahlawan kepada Tuan Guru.
“Bahkan satu jembatan, jembatan perdamaian, jembatan pembebasan ditulis dengan nama jembatan Tuan Guru”, kisah Sultan.
Saya kira sangat besar sekali jasanya, yaitu Tuan Guru bersama-sama dengan orang Tidore orang di Gamrange mengangkat senjata, untuk melawan penjajah, Tuan Guru menolak berbagai penindasan, dan perbudakan.
Oleh karena itu, mungkin karena khutbah dan himbauan Tuan Guru dianggap sangat merisaukan dan mengancam eksistensi Belanda pada masa Itu, maka Belanda mengasingkan Tuan Guru ke Ambon dengan posisi kaki dan tangan dirantai. Tidak cukup di Ambon, karena dianggap terlalu dekat dan Belanda takut jangan sampai pidato yang digaungkan oleh Tuan Guru dapat membakar semangat masyarakat untuk bangkit melawan Belanda, maka dibuang lagi ke Batavia.
Sampai di Batavia beliau masi tetap menggalang kekuatan yang sama, hingga akhirnya ia dibuang ke Cape Town Afsel. Sampai di Cape Town Tuan Guru kembali membuat gerakan yang sama, sampai akhirnya dibuang lagi di satu pulau yang bernama Roben Island.
Untuk itu, kita hanya menghimbau, mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia untuk berlaku adil dan melihat jasa-jasa Imam Abdullah Qadhi Abdusalam, dan bukan hanya beliau saja, namun ada Sultan Baabullah yang menguasai 72 pulau besar, lalu Zainal Abidin Sjah yang menguasai sepertiga dari wilayah Indonesia ini, dan beliau persembahkan daerah kekuasaannya kepada Republik Indonesia (RI).
Menurut Sultan Tidore, ini bukan hal yang kecil, kenapa hanya sepotong kertas untuk memberikan penghargaan gelar pahlawan itu saja tidak bisa diberikan, Saya (Sultan) meminta kepada Pemerintah Pusat untuk berlaku adil karena jasa-jasa itu harus dibalas oleh Pemerintah Pusat.
“Indonesia harus membuka mata untuk memberikan rasa keadilan kepada rakyat yang ada diseluruh Indonesia khususnya untuk Maluku Kieraha,” pungkas Sultan (HT)