Beranda Maluku Utara Alunan Cinta Air Hujan

Alunan Cinta Air Hujan

1110
0
Penulis

Oleh : Nasrullah La Madi
Anggota Komunitas Bacarita Sastra Maluku Utara

Gemericik air hujan yang menampar semua yang ada di muka bumi terdengar begitu nyaring. Keadaan bumi begitu basah, sekaligus terlihat segar setelah musim kemarau panjang berbulan-bulan menjangkiti bumi.

Langit menampilkan awan kelabu yang meneteskan hujan dengan ajaibnya. Tak ada suara pertir yang biasanya bergema dahsyat. Hanya hujan yang mengalun lembut.

Membuat semua mahluk di bumi terhanyut mengantuk karena alunan hujan yang begiru merdu. Sementara itu, seorang gadis terpekur menatap ke arah taman yang kini banjir karena hujan.

Gadis itu tersenyum perih, matanya sendu, dan dia tidak mengantuk karena hujan. Dia duduk sendirian di sebuah gazebo tua dengan mimik putus asa.

“Hujan, kenapa kau datang lagi hari ini?” tanya gadis itu dengan sedih.
“Saat hujan, kenangan itu akan kembali bersamaku. Kenangan disakiti orang yang ku cintai. Apa kau mengerti hujan?”lanjutnya dengan nada marah.

Hujan heran kenapa ada manusia seperti dia? Yang tidak bersyukur pada Tuhan yang menurunkan kebaikan dalam tiap tetes air hujan.

“Kau tahu, hujan? Ini semua tidak adil. Kenapa aku yang harus mengalami kejadian tragis ini sampai dua kali?” katanya muram, tapi tak ada air mata di wajahnya. Betul-betul gadis yang tegar.

“Kenapa kisah ini selalu saja terulang padaku, hujan?” dengan dramatis dia bertanya pada hujan. Sayang, hujan malah turun makin deras.

“Apa kau ingat kejadian dua tahun yang lalu?Kau juga bersaksi atas tragediku yang tragis.” Gadis itu bercerita sambil mengingat-ingat.
“Hujan, kau ingat kan aku pernah naksir Bagas, Kakak kelasku waktu SMA sekaligus atlet basket?”

“Pertama kali aku berkenalan dengannya hari itu juga hujan”. Jelasnya. “Seharusnya dia latihan basket dan tim cheerleaders kami juga sedang latihan di lapangan. Tapi gara-gara hujan, kami akhirnya batal latihan.”

Tiba-tiba dia tersenyum miris. “Aku seharusnya bersyukur. Kalo saja tidak hujan, mungkin aku nggak akan pernah kenal sama cowok paling keren di sekolah. Waktu itu aku sedang bertengkar dengan salah satu anak basket yang godaain aku. Mereka melecehkanku.”

“Aku hampir nangis soalnya aku sendirian. Teman-temanku yang lain udah pada pulang.” Katanya pada air hujan yang asik memukul dedaunan. “di tengah keputusasaan itulah, dia, pahlawanku datang. Dia belain aku. Dia juga nyaris berantem sama salah satu temannya yang menghinaku. Dia baik banget’kan? Dia juga rela nganterin aku pulang hanya untuk memastikan aku baik-baik saja.” Dia masih bercerita pada hujan yang turun semakin lebat.

“Sejak saat itu, aku jatuh cinta padanya. Hari-hariku menjadi kosong jika tak melihatnya. Dia memnuhi hatiku dengan wajahnya yang tampan.

Terlebih lagi Kak Bagas sepertinya juga merespon perhatianku padanya.” Dia lalu menghela napas sebentar. Sementara hujan mengalirkan hawa dingin yang semakin menggigit ke seluruh tubuh gadis itu.

“Sampai akhirnya peristiwa itu terjadi.” Setengah mati gadis itu mencoba tidak menangis.” Aku melihat dia berciuman dengan cowok di ruang ganti saat pulang sekolah. Dia ternyata…Ya Tuhan, Aku begitu jijik melihatnya.” Katanya, benci.

“Sampai sekarang aku tidak pernah sudi melihatnya lagi. Sejak itu pula, aku mulai berhati-hati menerima perhatian cowok.” Jelasnya. “Lalu datanglah, Andri, tetangga baru sebelah rumah. Sosoknya yang kalem namun berwibawa itu berhasil mencuri hatiku. Selain itu dia juga sangat cerdas.”

“Mama yang mengenalkanku padanya. Mama juga yang mempromosikan dia jadi guru lesku. Karena masih trauma, aku lebih berhati-hati menjaga perasaanku pada Kak Andri.” Dia bercerita lagi.

“Awalnya semua perhatiannya kutolak secara halus. Aku mencoba untuk selalu menghindarinya. Tapi dia tidak pernah menyerah. Sampai akhirnya dia menjadi guru baru di sekolahku.”

“Berminggu-minggu setelah mengenal pribadinya yang penyayang, aku mulai membuka hatiku, dia selalu ada untukku selalu sabar menghadapiku. Dia sosok yang benar-benar aku impikan sejak lama.”

“Puncaknya hari itu. Siang itu aku sedang distrap di lapangan karena tidak mengerjakan tugas Biologi. Aku dihukum berdiri di lapangan sambil hormat ke arah bendera. Sialnya aku sendirian dan perutku lapar sekali karena pagi harinya aku belum sarapan.”

“Lalu kau datang lagi, hujan. Entah itu keajaiban atau apa? Kau selalu datang di saat aku akan jatuh cinta. Apakah memang itu pertanda?” Cewek itu bertanya frustasi pada hujan.

“Dalam sekejap hujan membasahi tubuhku. Kepalaku tiba-tiba pening entah karena apa. Dia, Pak Andri, tetangga sekaligus guru fisika itu datang membawakanku payung. Tapi tiba-tiba aku malah pingsan.”
“Saat aku sadar yang pertama kali ku lihat adalah Pak Andri. Keesokan harinya dia membantuku menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Dia sangat baik bukan?”

“Tapi aku akhirnya tahu siapa dia. Saat itu hujan turun dengan derasnya. Semakin mendramatisasi keadaan. Dia berpeluk-cium mesra dengan seorang gadis di sebuah kafe. Kebetulan saat pulang dari supermarket aku melewati kafe itu. Hatiku panas melihatnya. Rasanya seperti luka bakar disiram dengan air cabai.”

“Sesampainya di rumah aku menangis. Keesokan harinya di sekolah, Pak Andri pulang dengan buru-buru. Dia tidak sadar ponselnya ketinggalan di kelas waktu mengajar. Dila, sahabatku, menyuruhku untuk mengembalikan ponsel itu pada Pak Andri karena kami bertetangga.”

“Awalnya, aku menolak. Tapi karena paksaan Dila, aku menurut. Di tengah perjalanan pulang, di dalam angkot ponsel Pak Andri berbunyi. Ternyata dari salah satu temannya yang ngajakin ketemuan di kafe. Ponsel itu lalu mati karena baterainya habis. Entah kenapa tiba-tiba aku memutuskan untuk pergi ke kafe itu lagi.”

“Sesampainya di sana, aku melihat Pak Andri berjalan keluar dari kafe dengan seorang teman laki-lakinya. Mereka lalu menuju ke sebuah hotel. Aku membuntutinya dengan taksi.”

“Sesampainya di sana, aku jadi ingat sesuatu. Apa yang dilakukan dua laki-laki itu ke hotel? Ternyata mereka adalah pelanggan setia hotel itu. Karena aku melihat beberapa karyawan di hotel itu sepertinya sudah mengenal mereka dengan akrab.”

“Aku lalu menyogok salah satu karyawan itu karena penasaran dengan apa yang dilakukan Pak Andri bersama temannya itu di hotel. Karyawan itu bilang Pak Andri itu biseks. Dia bukan hanya suka wanita, tapi juga pria.”

“Kupaksa karyawan hotel itu untuk mengaku dimana kamar Pak Andri. Segera aku berlari ke sana dan menggedor pintunya gila-gilaan.”
“Saat pintu terbuka, Pak Andri telanjang dada. Dengan geram aku melempar ponsel itu ke arah wajahnya. Dia terlihat menyesal dan bersalah. Dengan marah aku meneriakinya ‘Aku nggak sudi punya guru yang mesum kayak Pak Andri. Mulai besok jangan ngajar di sekolahku lagi. Titik. Atau aku yang akan membuka rahasia Pak Andri.”

“Saat keluar dari hotel, hujan turun dengan derasnya. Membuat peristiwa itu semakin dramatis.” Gadis itu menunduk. Hujan masih turun dengan garangnya, tapi tanpa petir. Dalam keheningan hujan, gadis itu tetap tidak menangis.

***

“Disa!” panggil seorang cowok di depan gadis yang sedang menunduk itu. Cowok itu mengenakan jas hujan berwarna biru dan sebuah payung berwarna kuning di tangannya.

Gadis bernama Disa itu mendongak. “ngapain kamu ke sini? Pergi sana!”usirnya.
“Kenapa kamu marah sama Ari?” cowok bernama Ari itu bertanya.
“Kamu sama aja kayak mereka?”
“Apa karena aku berpelukan dengan sepupu dan saudariku itu bisa diasumsikan bahwa aku biseks?”
“Jadi kamu dengar semua?”
“Ya.” Ari mengangguk. “Aku duduk di gazebo sebelah. Suaramu keras sekali. Kalau kau menganggapku gay hanya karena aku berpelukan dengan sepupuku yang baru saja pulang dari Makasar apa itu salah? Apa kau juga menilaiku biseks hanya karena aku mencium pipi kakakku yang baru saja lulus kuliah di Malang?” Ari bertanya lagi.

“Jadi yang kemarin kulihat di kafe itu..?” Disa terhenyak tak percaya.
“Semua hanya salahpaham, Dis. Aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu hanya trauma.”
“Salahpaham?”
“Ya. Aku sadar kita memang baru kenal dua bulan. Tepatnya sejak kamu satu kelompok sama Aku buat ngerjain tugas kuliah kita. Tapi kamu terlalu menutup dirimu, Dis.

Jangan berlebihan. Tidak semua laki-laki begitu hanya karena kau pernah disakiti mereka dengan cara yang sama.” Dentingan air hujan berangsur menghilang sehingga hanya suara Ari yang terdengar.

“Tapi kenapa peristiwa itu terjadi di saat hujan seperti ini?” Disa kembali mengutuk hujan. Padahal saat itu hujan tak lagi bersenandung deras. Dia kini lebih tenang agar Disa bisa mendengarkan nasehat Ari.

“Jangan salahkan hujan. Itu hanya kebetulan saja. Hujan turun ke bumi untuk membawa kebahagiaan. Agar semua mahluk bisa merasakan pancaran cinta dari sang Maha Pencipta secara adil.”

“Jadi semua itu tidak ada hubungannya dengan hujan?”
“Tidak, Dis. Sekarang ayo aku antar pulang.” Ajak Ari. “Pakai payung ini.”
“Tidak perlu.” Sahutnya. Ari ternyata tidak sadar kalau hujan sudah pergi. Berangsur tapi pasti sinar matahari menerobos gerombolan awan tipis.

Hari kembali cerah. Disa berjalan pulang membawa napas baru bersama Ari. Aku sang hujan yang sedari tadi mendengarkan ceritanya kini berganti tugas dengan matahari. Matahari yang akan selalu menerpa bumi dengan sinarnya yang hangat penuh cinta.