Beranda Maluku Utara Pancasila: Konvergensi Kemaslahatan Bernegara

Pancasila: Konvergensi Kemaslahatan Bernegara

1112
0
Penulis

Oleh: Suyono Sahmil
(Pengurus DPD KNPI Kota Ternate dan Ketua Pemuda Indonesia Mandiri (PENDIRI) Kota Ternate)

Tanpa Pancasila Negara Republik Indonesia Tidak Pernah Ada
(Abdurrahman Wahid)

Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 telah menetapkan bahwa tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan menjadikannya sebagai hari libur nasional di setiap tahun peringatan.

Hal ini tentu menjadi sebuah paradigma baru untuk mengolah dan memberikan pemaknaan secara holistik akan kehidupan berbangsa dan bernegara tentang esensi futuristik pancasila sebagai prinsip dalam merajut tenun kebangsaan yang semakin terkoyak-koyak saat ini.

Pancasila, bukan hanya sekedar rumusan kata-kata tanpa arti, tetapi nilai hakiki dalam instrumen berbangsa dan bernegara. Nilai kesejarahan ini tentu sejalan dengan pandangan Ibnu Khaldun tentang esensi sejarah sebagai i’tibar untuk perjalanan suatu bangsa dalam memahami ide pendiriannya sekaligus memahat nilai kemaslahatan rakyatnya.

Sebab, Perumusan dan Penetapan Pancasila ada suatu sejarah besar bangsa ini dalam mendikte dan memproklamirkan dasar pendirian negara.

Pancasila untuk pertama kali dicetuskan Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 didepan sidang Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pada sidang BPUPKI yang berlangsung tanggal 29 mei – 1 Juni 1945 ini memiliki agenda tunggal yang dikhususkan untuk membahas dasar bernegara. Bung Karno untuk pertama kalinya menyampaikan grand idea tentang prinsip atau dasar bagi kemerdekaan Indonesia merdeka yang dikemas secara konsepsional, sistematis, dan koheren.

Selanjutnya rumusan mengenai Pancasila berkembang Pada tanggal 22 Juni 1945 berdasarkan keputusan Panitia Sembilan. Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.

Hingga akhirnya melalui sejarah panjang, rumusan pancasila menjadi final pada tanggal 18 Agustus 1945 dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai dasar negara.

Dalam keputusan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila secara resmi tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yang menjadi sumber ketatanegaraan, sebagai sebuah perwujudan kemerdekaan secara politik dan hukum, kemerdekan ekonomi, Pendidikan, sosial dan Budaya.

Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah menyatu dengan jiwa dan hidup bangsa Indonesia, yang berjuang melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, menimbang gagasan-gagasan besar dunia, namun tetap berakar. Nilai (value) Pancasila yang berkarakter ini telah menjadi peganggan filosofis secara bersama kala menghadapi krisis nasional terhadap eksistensi bangsa dan menjadi landasan moralitas berbangsa dan bernegara.

Belajar pada Restorasi Meiji, sejatinya tak ada negara yang bisa maju tanpa berpijak pada akar dan identitasnya, ambil contoh negara Jepang (via Restorasi Meiji). Restorasi Meiji merupakan suatu gerakan pembaruan yang dipelopori oleh Kaisar Mutsuhito, atau Kaisar Meiji. Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau pembaruan.

Restorasi Meiji merupakan suatu rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan Awal zaman Meiji. Restorasi Meiji bisa dikatakan sebagai jaman “pencerahan” Jepang setelah selama 200 tahun lebih menutup diri dari hubungan luar di bawah kepemimpinan rezim Tokugawa.

Dengan adanya Restorasi Meiji ini masa dimana Jepang akan menjelma menjadi negara yang maju pun dimulai. Sejalan dengan arti dari kata meiji sendiri, yaitu yang berpikiran cerah.

Bangsa Jepang kemudian mulai berbenah diri dan berusaha mengejar ketertinggalannya dari bangsa Eropa Barat. Restorasi Meiji berhasil menjadikan bangsa Jepang menjadi bangsa yang modern pada waktu itu.

Jepang yang seperti diketahui saat itu merupakan negara ‘kuno’ dan miskin dengan sakokunya (isolasi) menjelma menjadi salah satu kekuatan yang disegani di Asia Timur. Banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam dibidang industri, pemerintahan, pendidikan maupun militer akibat dari Restorasi Meiji.

Kemajuan-kemajuan tersebut dicapai hanya dalam kurun waku kurang dari 50 tahun
Restorasi Meiji inilah sebagai katalis dalam kemajuan Jepang menuju negara industri maju. Keberhasilan Restorasi Meiji ini diakui dunia tidak ada bandingannya di seluruh dunia. Dalam jangka waktu hanya sekitar 30 tahunan telah berhasil membawa Jepang dari negara terisolasi, terbelakang dan tradisional menjadi negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat.

Restorasi Meiji ini juga telah melahirkan tokoh-tokoh yang amat berpengaruh bagi kemajuan Jepang seperti Fukuzawa Yukichi, tokoh modernisasi pendidikan Jepang, dalam era Restorasi Meiji ini ia mampu memberi pengaruh yang amat besar, yang hingga kini mampu menggerakkan masyarakat Jepang untuk mencari ilmu dan terus belajar.

Perubahan yang begitu besar bagi masyarakat Jepang ini juga tidak terlepas dari mental model manusia Jepang yang memang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh mental Bushido atau jalan hidup samurai (kerja keras, jujur, ikuti pemimpin, tidak individualis, tidak egois, bertanggung jawab, bersih hati, harus tahu malu). Berpikiran lugas, futuristik namum tetap berakar pada nilai fundamental kebangsaan.

Konvergensi Kemaslahatan Bernegara
Bagaimana dengan Indonesia ? Permasalahan yang timbul pada beberapa periode penyelenggaraan negara, semisal; paham radikalisme yang kian merebak, dugaan kriminalisasi ulama, kasus penodaan agama, terorisme yang semakin ‘berkerumunan’.

Pengibaran/konvoi Bendera Israel di Tanah Papua tanpa klarifikasi dan penyelesaian yang jelas, dst. tentu mengindikasikan bahwa bangsa ini sedang diuji akan kualitas pemahaman nilai pancasila sebagai sebuah philosofische grondslag / dasar filsafat kenegaraan.

Oleh karena itu, Kita harus lebih peka menghadapi situasi kebangsaan yang ‘semraut’ dibeberapa waktu ini dan berbenah diri untuk Indonesia yang lebih bermartabat.

Apabila penghayatan dan pengejewantahan terhadap nilai pancasila ini terus-menurus terkristal dalam setiap individu bangsa ini dari waktu ke waktu, bukan tidak mungkin kita akan lebih hebat dari negara Jepang ataupun negara lainnya untuk segala hal.

Dalam Pandangan alm. Adnan Buyung Nasution (2007;103) Bangsa ini harus sadar bahwa mengembangkan paham persatuan dan kesatuan tanpa mengingkari adanya kenyataan pluralitas dalam kehidupan kebangsaan adalah suatu kesemetian, motto Bhineka Tunggal Ika harus dipahami secara berimbang.

Tiada Ika tanpa Kebhinekaan, sebaliknya kebhinekaan saja tanpa keikaan maka yang akan terjadi adalah disintegrasi seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Disamping itu, persatuan dan kesatuan Indonesia bukanlah sesuatu yang sudah baku dan nyata, melainkan masih tetap merupakan cita-cita ideal atau nilai-nilai yang harus terus-menerus diperjuangkan sampai menjadi benar-benar baku dan kokoh.

Rumusan Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh segenap rakyat Indonesia dalm kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan suatu konvergensi demi kemaslamatan rakyat.

Setiap sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham seseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekan konsensus serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akhirnya, Penetapan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, diharapkan menjadi sebuah momentum yang mampu ‘membangkitkan’ etos dan semangat kebhinekaan untuk kemaslahatan bangsa dan negara ini. Bukan hanya sebuah agenda politik pencitraan dan perayaan simbolik yang absurditas semata. Semoga.