Oleh : Nasarudin Amin
(Wartawan)
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, bangsa Indonesia dihantui hiruk-pikuk dinamika politik dalam Negeri. Kegaduhan wacana politik bahkan menyasar hingga ke pelosok Maluku Utara.
Sejumlah issu politik lokal bergulir begitu cepat, belum usai ‘baku-malawang’ perkara siapa yang ditetapkan sebagai Gubernur oleh Mahkama Konstitusi, publik kembali berjibaku dengan silang-sengketa pelaksanaan PSU dibeberapa kecamatan, jadwalnya akan dihelat pada 17 Oktober 2018 nanti.
Tidak berakhir di PSU, issu seputar Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Presiden pun menjadi catatan yang paling hangat dibincangkan di warung kopi, kos-kosan, perkantoran hingga dari rumah ke rumah.
Issu politik paling santer dibicarakan, bak kristal yang baru ditemukan para penambang, issu politik mampu mereduksi issu-issu penting lainya, seperti kesehatan, pendidikan, fluktuasi harga pangan, issu bencana dalam negeri dan ancaman bencana di Ternate, bahkan issu sekelas korupsi pun tergerus dalam satu pekan terakhir, kian sepi dari ruang perbincangan.
Teka-teki siapa yang akan berkuasa di Gusale-Puncak, seolah berhasil membuat suasana menjadi menegangkan. Apalagi beredar rumor bahwa nasib Rivai Umar Calon Wakil Gubernur Malut nomor urut satu berada di ujung tanduk, karena diduga melakukan kampanye terselubung bersama tim pemenangnya di wilayah enam desa.
Tak hanya itu, ketegangan juga terjadi diwilyah Kepulauan Sula, saat ini tercatat ada sejumlah insiden yang melibatkan tim sukses dan aparat kepolisian. Sebuah kondisi yang membuat situasi di wilayah PSU begitu menegangkan.
Menurut informasi sejumlah media, petugas kemananan sudah mulai berjaga-jaga dan melakukan patroli rutin, pengawasan pun diperketat di wilayah tersebut, dengan mendatangkan komisioner pengawas pemilu dari Kabupaten-Kota lainnya di Maluku Utara.
Ketegangan ini bukan hanya dirasa di wilayah PSU saja, di beberapa daerah lainya seperti di Kota Ternate dan Kota Tidore pun menjadi yang paling sering menanyakan soal siapa yang akan memenangkan hati rakyat dalam percaturan politik kali ini. Betapa agitasi dan propaganda yang disusun pelakon politik berjalan sangat sempurna sehingga mampu membuat konsistensi issu ini selalu ramai dibincangkan khalayak.
Situasi ini membuat penulis teringat akan kemelut Pemilukada Malut antara Thaib Armain yang bertarung dengan Abdul Gafur.
Dalam peristiwa kala itu, kemelut Pemilukada juga bermula dari adanya sengketa terkait hasil perhitungan Pilkada di beberapa wilayah.
Peristiwa politik saat itu seperti bencana, karena sampai membuat Mendagri kesulitan menyikapi masalah itu sehingga meminta fatwa dari Mahkamah Agung.
Kemelut ini membawa banyak dampak mulai dari bentrok antar pendukung hingga bentrok bersama Kepolisian yang pada akhirnya hanya menyisakan pilu di mata orang-orang Maluku Utara.
Berbeda ketika kita membaca sejarah Sultan Nuku. Sikon politik yang saat ini terjadi adalah bagian dari cara pelakon politik mengkondisikan nuansa fantasi untuk mengarahkan pikiran rakyat agar terfokus pada satu issu politik.
Agitasi dan propaganda politik yang kita temui setiap hari di jazirah ini justru membuat khalayak kebingungan, beragam issu yang mencuat justru membuat sikap primordialisme dari setiap suku muncul secara mendadak.
Padahal ketika kita membaca Nuku dari perspektif historiografis Indonesia Modern, setiap peristiwa politik yang melibatkan Nuku tidak dicipkanan semata-mata hanya sebatas fantasi, melainkan Nuku telah meletakkan dasar perjuangan politik secara universal.
Sejarah perjuangan Nuku adalah episode politik besar yang menyingkap sederetan proses sosial, politik dan keseluruhan tata hubungan ekonomi, sosial politik dan politik tentang kecamuk perebutan kuasa dan kemerdekaan, sekongkol dan kongkalikong, khianat, tipu-muslihat, bahkan tentang kegagahan dan keberanian, kejujuran, siasat, ketabahan, kesetiaan dan gaya bertahan. (E. Katopo, 1984 ; 18)
Dalam pekembangannya, sejarah Nuku bukanlah sebatas pada semangat primodialisme, tetapi oleh sejarawan yang menganut paham Nuku beranggapan bahwa ia sebagai tokoh sejarah global yang berkhidmat pada wawasan Nusantara. Nasionalisme yang ia ajarkan adalah nasionalisme kerakyatan, nasionalisme yang menggerakkan rakyat melawan kolonialisme.
Ini bisa dilihat dari empat konsep politik yang ingin diwujudkan Sultan Nuku. Pertama, mempersatukan seluruh wilayah Kesultanan Tidore sebagai suatu kebulatan yang utuh. Kedua, memulihkan kembali empat pilar kekuasaan kerjaan Maluku.
Ketiga, mengupayakan sebuah persekutuan antara empat kerajaan. Keempat, mengenyahkan ekuasaan dan penjajahan asing dari Maluku. (M. Adnan Amal, 2010 : 187).
Menurut Leonard Y. Andaya, Nuku dalam segala hal merupakan seorang pahlawan budaya, seorang inovator yang terus memperkuat tradisi.
Ketika Nuku secara resmi dilantik sebagai penguasa pada 1801, rakyat yakin bahwa abad-abad yang penuh dengan perselisihan dan penderitaan yang dibawakan oleh orang-orang asing yang mencari rempah-rempah sekarang dapat diperbaiki, dan dunia Maluku sekali lagi pulih kembali kepada kesejahteraanya seperti sedia kala. (2015 : 342).
Kobaran Api Perjuangan
Kristal dari perjuangan Nuku adalah semangat memerdekakan bangsa dan rakyatnya setelah bertahun-tahun, beradab-abad, dicecoki oleh penjajah eropa.
Dalam skala politik, motivasi Nuku memberontak adalah untuk mengusir penjajah dan melawan semua bentuk tirani dan penindasan yang dialami rakyat Maluku.
Dalam buku Pemberontakan Nuku, Muridan Satrio Widjojo mengangkat tokoh utama dalam buku yang dalam sebutan Leonard Y. Andaya adalah seorang tokoh revolusi yang sukar dicari pandannya. Dan bahkan dilangan Inggris memanggilnya Lord Of Fortune atau raja yang hebat lagi baik.
Dalam perjuangannya, Nuku mampu mengorganisir dan membangkitkan semangat masyarakat terjajah. Nuku berhasil mengikat berbagai daerah di Maluku-Papua yang multietnis dengan semangat budaya lokal, bahkan ia dengan sadar mengusik orang dari tidur panjangnya untuk bangkit melawan penjajahan.
Taktik pertarungan Nuku sebagaimana diceritakan Muridan adalah pertarungan VOC dengan armada hongi dan sejata moderen, sementara Nuku dengan bala tentara lokal dengan semangat juang tinggi.
Inilah semangat nasionalisme yang ditunjukan oleh seorang politisi jenius, Negarawan dan juga Sultan yang bijaksana. Lebih dari itu, perjuangan Nuku merupakan gerakan sosial internasional karena menolak devide et impera atau politik adu domba yang dilakukan oleh VOC Belanda. Nuku tidak pernah meletakkan dasar pihak perjuanganya hanya sebatas pada perjuangan lokalistik semata.
Nuku dalam perananya selalu ikhiar dan berkehendak adanya kesadaran integrasi politik ekonomi para raja agar tidak terjebak oleh paham kolonialieme.
“Dalam situasi semacam itulah Nuku tampil diatas pentas histori dan berupaya melakukan restorasi Maluku dengan mentransfer ide-ide kemandirian dan kebebasan penuh bagi kerajaan-kerajaan di kawasan itu,” tulis M. Adnan Amal dalam buku Kepulauan Rempah-Rempah.
Nuku Mengobati Ketegangan Politk
Domino global masih terus berlanjut. Tetapi VOC Belanda sadar bahwa berperang melawan Nuku adalah perang yang muram, tidak pernah usai dan bahkan membuat porak-poranda ekonomi Belanda. Sementara kora-kora dan juanga Sultan Nuku terus menuju di titik dimana Belanda melancarkan penjajahan.
Tekat Nuku sudah bulat, Belanda harus pergi dan biarkan orang Maluku hidup merdeka, pada akhir perjuangan Belanda akhirnya takluk ditangan Nuku, dan ketegangan politik global akhirnya berakhir.
Jiwa patriotisme dan nasionalisme Nuku haruslah menjadi inspirasi dan spirit bagi pelakon saat ini. Bahwa identitas nasionalisme yang ditunjukan Nuku pada era-nya adalah simbol dan juga penanda bahwa daerah ini menolak ketegangan, apalagi ketegangan itu dibuat oleh pelakon politik di daerah ini sendiri.
Peran para tokoh politik sudah harus berkiblat pada semangat perjuangan Sultan Nuku, terlebih para kandidat pasangan calon yang saat ini sedang berjuang memenangkan hati rakyat. Mereka harus bisa menjaga nasionalisme Nuku, pahlawan tanah air yang telah mengorbankan rasa sakitnya demi kemerdekaan dan kemajuan bangsa dan daerah ini. (**)