Enam abad lalu
Masih kudengar letupan lesung meriam menggema di bibir pantai Sao Paolo
Nada-nada bobeto menggema menyeru perlawanan
Saat panas matahari membakar semangat juang Babullah
Ia membidik kepala perampok yang mengadu domba Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo
Diladang perburuan yang tak kenal nurani
Ia beri tanda yang membuat gemetar Seantero Eropa
Tak terhitung berapa banyak kapal-kapal besi terapung karena kalah
Tak terhitung berapa banyak pulau yang takluk ditangannya
Tak terhitung berapa banyak pejuang yang tumbang dan baginda penghianat yang mengamankan isi perut
Dalam merah sang saka
Masih ingatkah kamu
Tentang darah yang tumpah dan ngilunya daging yang terkelupas
Di atas kulit air laut
Ia jadikan ladang tempur
Bukan untuk melawan Portogis, Spanyol atau Belanda
Tapi Babullah ingin kita hidup damai
Agar rakyat tak lagi menanam syurga dengan duri
Atau melukis peta menuju maut
Siapa sekarang yang akan menggali risalah?
Dan berteriak bahwa moyang kami bukan membunuh ratusan penjajah
Tetapi agar kita menjadi manusia yang merdeka
Siapa yang bersedia? Siapa?
Jangan bilang “akulah” orangnya
Sementara politisi saling berlomba mendulang suara
Mereka membidik hatimu, keinginanmu, bahkan nasibmu sekalipun
Agar bisa tampil sebagai pemenang
Lihat disana, bukan, disini, disitu juga, mereka ada di mana-mana
Si pendulang keuntungan itu sedang membuat air keruh
Ia memercikkan bara kebencian di mata rakyat
Lalu menyulut nyala api merambat ke selat Maitara
Ooh,
Malam ini Angin kebencian di Kota sedang bertebar
Ribuan janji datang dari udara, lalu pergi begitu saja ditelan korupsi
Tapi siang itu Pidato petinggi terbelah
Semakin membual
Katanya, “kalau saya terpilih rakyat akan makmur, hidup sejahtera, pendidikan murah, lapangan pekerjaan terbuka, kesehatan terjamin, ekonomi membaik,”
Lalu aku bertanya
Apakah Babullah pernah berjanji begitu?
Tidak, karena Merdeka yang diperjuangkan adalah keringat duka bercampur darah.
Di kaki Limau Gapi
Nasarudin Amin
21 April 2018