TERNATE – Matahari mulai menampakkan wajahnya, tanda dimulainya geliat aktivitas, tidak ketinggalan para penambang batu tradisional, dengan alat sederhana menuju ke lokasi Tambang Batu Kerikil.
Luas wilayah yang terbentang di garis pantai kelurahan Bula, Ternate Barat, memang terkenal dengan banyaknya bebatuan.
Secercah harapan masa depan ada disitu, pekerja ini bukan hanya para pria, ada juga wanita dan anak-anak, bagi mereka, pantai adalah sumber penghidupan.
Dari kejauhan, saat reporter media ini memasuki kawasan pertambangan tradisional itu, sudah terdengar bunyi batu yang dipecah menjadi kerikil, prosesnya pun tidaklah mudah, pertama batu-batu yang berukuran sedang mulai dikumpulkan selanjutnya ditampung di tempat penampungan yang mereka miliki masing-masing.
Baik wanita maupun pria memiliki tugas yang sama, tidak ada perbedaan sama sekali. Batu yang sudah terkumpul itu kemudian dipecah hanya menggunakan palu hingga menjadi pecahan kecil, resiko kecelakaan kerja pun sering kali tidak terhindarkan.
Emi salah satu penambang asal Desa Dodinga, Halmahera Barat menuturkan kerikil yang bisa terkumpul 1 ret (kerikil yang siap dijual) membutuhkan waktu 1 bulan, dan dihargai sebesar Rp. 300.000.
“Itupun tidak cukup untuk makan sehari-hari belum lagi untuk biaya anak sekolah,” ujarnya.
Namun, meski menjadi sumber penghidupan dari penambang, dampak dari pertambangan itupun mulai nampak, abrasi jelas terlihat di sepanjang kawasan tersebut. (HT)