Beranda Maluku Utara Literasi Sasra Melalui Kesadaran Masyarakat Belajar (LEARNING SOCIETY)

Literasi Sasra Melalui Kesadaran Masyarakat Belajar (LEARNING SOCIETY)

1616
0
Penulis

Oleh : Nasrullah La Madi
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang

“Learning society” atau masyarakat belajar merupakan sebuah kondisi masyarakat yang tiap individunya memiliki kesadaran diri membaca dunia, dengan suka bertanya, suka membaca, dan membuka peluang-peluang berekspresi secara mandiri melalui beberapa media belajar.

Jika pada masyarakat kuno dilakukan secara lisan atau berdasarkan media tradisional/ artefak yang dibuat, pada masyarakat modern jangkauannya jauh lebih luas tidak saja buku tetapi juga media televisi dan internet.

Banyak yang masyarakat perlukan sebagai pengetahuan, tidak terbatas pada literasi pengetahuan praktis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, keterampilan, hiburan, tetapi seharusnya juga pada pemikiran dan narasi-narasi sastra.

Literasi sastra belum banyak dijadikan sasaran berpengetahuan dan masih dianggap hal yang berat. Ini menjadi persoalan dan harus segera dicari jalan keluar meliterasi sastra masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa Literasi Sastra merupakan dimensi literasi bidang kajian yang memiliki cakupan pemberdayaan Masyarakat Baca dalam mencintai sastra agar nilai-nilai etika, estetika, dan moral terabsorbsi secara luas. Permasalahan yang dapat dibahas dalam literasi sastra dalam masyarakat belajar, bagaimana penanaman kesadaran, perhatian, evaluasi, percobaan, dan adopsi sebagai tahapan proses pemindahan teknologi dapat dilakukan? Literasi pada prinsipnya merupakan bagian komunikasi partisipatoris terkait dengan content/hal ihwal yang disosialisasikan.

Untuk menjawab persoalan ini pengetahuan masyarakat dalam bentuk learning groups adalah mutlak perlu melalui sebuah tatalaksana perencanaan pembaharuan.

Semangat Literasi Sastra

Literasi sastra secara spesifik dapat dimasukkan ke dalam penguasaan dan apresiasi budaya. Literasi sastrra perlu dikembangkan di masyarakat baca/masyarakat belajar.

Hal ini beralasan karena sastra dan seni memiliki peranan penting dalam pembinaan bangsa. Ajip Rosidi (2016) menyatakan bahwa peranan sastra dan seni dalam pembinaan bangsa (1) makna sumpah pemuda 1928 yang salah satunya menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia adalah ikrar kebudayaan yang mengakui ragam kebudayaan dan bahasa daerah di Indonesia (2) sastra dan seni menjadi alat identifikasi bangsa, (3) sastra Indonesia sebagai bagian dari “ahli waris kebudayaan dunia”.

Lebih lanjut perlunya literasi sastra, khususnya dalam masyarakat belajar karena kesusastraan merupakan sebuah dimensi ruhani. Sastra merupakan produk masyarakat/bangsa yang beradab dan berkebudayaan.

Oleh sebab itu keberlangsungan pelaksanaan literasi sastra memerlukan keputusan politik seperti Gerakan Literasi Masyarakat. Literasi sastra di masyarakat bukan sekedar penyediaan mobil pustaka keliling, penyediaan bahan literasi, tetapi jauh dari itu yaitu menanamkan sikap gemar membaca sastra. Sebuah data (Ajip Rosidi, 2016), bahwa kemampuan baca sastra pelajar di zaman Kolonial Belanda justru lebih baik, karena penyediaan buku sastra.

Kondisi literasi sastra di Malaysia justru lebih baik, karena adanya political will terkait dengan wajib membaca sastera Melayu/karya sastra karangan sastrawan Malaysia baik yang klasik maupun modern.

Negara yang berhasil mengembangkan literasi sastra adalah Negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia. Di Negara tersebut sastra dibaca oleh setiap orang/kebanyakan orang.

Sastra dianggap sebagai kebutuhan rohani sehari-hari dan membaca karya sastra dianggap memperluas kaki langit pandangan dan memperdalam pengertian tentang sifat-sifat manusia. Bagaimana dengan Indonesia?

Secara menyedihkan, literasi sastra di Indonesia tidak menggembirakan. Meskipun setiap hari bisa dilihat di toko buku Gramedia atau yang lain, produksi buku bacaan sastra/fiksi meningkat dari tahun ke tahun, tetapi tiga hal tidak terpenuhi untuk literasi sastra yaitu (1) harga buku masih tergolong mahal, (2) minat baca masih rendah, kalau toh ramai pengunjung mungkin hanya karena jalan-jalan, jumlah pembaca tak sebanding dengan jumlah penduduk baca, kendala politik dan kebijakan penerbitan buku, (3) sastra tidak dianggap penting oleh Negara.

Masyarakat tentunya tidak langsung memahami dan tiba-tiba terliterasi/mengerti karya-karya Putu Wijaya, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Pramoedya Ananta Toer dll, Hal ini hanya dimengerti sedikit masyarakat terpelajar saja di Indonesia, tidak memasyarakat. Di bidang pendidikan formal sekolah juga menyedihkan.

Sebagai contoh ketika zaman Orde Baru, ketika Menteri Pendidikan dijabat Daoed Joesoef, persentasi buku nonfiksi harus lebih banyak daripada buku fiksi, Garis kebijaksanaan ini menunjukkan pandangan pemerintah yang menganggap sastra tidak penting.

Dengan demikian kesempatan mengenalkan dan mengakrabkan sastra kepada siswa tidak ada sama sekali. Padahal Indonesia sangat kaya dongeng, fabel, mitologi, wiracarita, karya sastra klasik. Baru kemudian ada kesadaran politik pentingnya literasi dan dimunculkannya GLS, sudah sangat terlambat.

Kesadaran Masyarakat Belajar
Masyarakat belajar (Learning Society) bisa terjadi apabila terjadi komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi. Tidak ada pihak yang segan bertanya, tidak ada pihak yang paling tahu, semua pihak harus saling berbagi dan mau mendengarkan.

Di kalangan Negara-negara ASEAN, Singapura menduduki perangkat pertama baik dalam literasi dan minat baca masyarakat maupun dalam masyarakat belajar dalam arti memahami segala pengetahuan dan aturan yang dipahami.

Sering pula kita mendengar atau melihat tentang berbagai peristiwa dan situasi sosial lainnya yang terjadi di negara-negara maju, yang bisa diperbandingkan dengan keadaan dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini.

Untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan suatu negara atau bangsa bukan hanya ditentukan oleh para pemimpin politiknya, kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh seluruh anggota masyarakatnya yang cerdas.

Masyarakat hanya bisa cerdas jika seluruh anggota masyarakat mau belajar. Inilah salah satu kunci utama keberhasilan kenapa sebuah negara atau bangsa bisa maju dan sejahtera.Kompetisi global menuntut setiap orang untuk selalu belajar agar dia memiliki kemampuan antisipatif dan adaptif untuk mencegah dan mengatasi berbagai masalah kehidupan yang serba kompleks.

Terbentuknya masyarakat belajar diawali oleh individu pembelajar. Jika setiap orang di suatu negara sudah tumbuh kesadaran dan kemauannya untuk belajar, maka di sinilah mulai muncul masyarakat belajar.

Untuk kaitan masyarakat belajar dan literasi sastra, kiranya pemikiran Soedjatmoko (1995) tentang Konsep pendidikan religio humanis sangat tepat. Religio Humanis yang merupakan bagian dari nilai-nilai sastra, merupakan model pendidikan yang secara praktis dan pragmatis memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa. Ini dikarenakan sikap kritis religious dan rasa kemanusiaan dalam kesusastraan yang mendalam akan menumbuhkan rasa nasionalisme dan etika transenden yang akhirnya melahirkan manusia kritis dan bersusila dan terhormat.

Jika masyarakat belajar sudah terbentuk melalui gerakan literasi, dan literasi sastra menjadi bagian dari program pengembangannya, maka dalam perspektif studi kultural pendidikan sebagaimana dikemukakan H.A.R. Tilaar (2003) akan terbentuk masyarakat bermoral dan masyarakat yang cerdas. Hal ini tentunya terkait dengan konsep literasi sastra pada masyarakat belajar yaitu mengarahkan masyarakat mencintai sastra yang jelas di dalamnya terkandung nilai etika dan moral, nilai mitologi dan historis, nilai hukum, kemasyarakatan, nilai, ilmu pengetahuan dan adat istiadat.

Jika dalam masyarakat baca terdapat literasi sastra, maka ia akan memelihara tradisi literasi dan akan mentransformasi nilai sosio-edukatif. Literasi pada dasarnya proses dari kelisanan menuju keberaksaraan dengan wujud transformasi learning society dalam menghadirkan pengetahuan dalam keluarga sejak dini.