Beranda Maluku Utara Pernyataan dari Kesultanan dapat Sorotan Akademisi

Pernyataan dari Kesultanan dapat Sorotan Akademisi

2533
0
Karjo Nalu.

TIDORE KEPULAUAN – Menangggapi pernyataan dari pihak Kesultanan Tidore terkait dengan rencana penjemputan paksa kepada kepala desa (Kades) Tului, Safrudin Safar bila tidak segera menghadap pihak Kesultanan selama 2×24 jam, mendapat sorotan dari staf pengajar pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Bumi Hijrah Maluku Utara, Karjo Nalu.

Karjo Nalu yang juga sebagai warga desa Tului itu menanggapi dengan memberikan beberapa pokok pikiran lewat press release yang dikirim ke media ini, Minggu (21/10).

Pertama, kata Karjo, pernyataan pihak kesultanan yang medesak kepada kepala desa Tului, Safrudin Safar agar menghadap kepada kesultanan Tidore dalam jangka waktu 2×24 Jam, jika dalam jangka waktu tersebut tidak diindahkan maka akan dijemput paksa oleh kesultanan dengan menggunakan perangkat adatnya.

“Menurut saya, pernyataan pihak Kesultanan tersebut tidak tepat dan salah alamat, karena yang melakukan jemput paksa seseorang adalah kewenangan penyidik baik dari Kepolisian atau Kejaksaan. Itu pun tergantung tingkat kesalahan yang bersangkutan,” kata Karjo.

Poin lainnya, menurut Karjo, jika kepala desa Tului, Safrudin Safar tidak menerima keputusan pihak kesultanan yang dituangkan dalam IDIN tersebut, maka diberikan pilihan segera angkat kaki dari desa Tului.

“Menurut saya tindakan tersebut sangat berlebihan dan tidak patut dijadikan tauladan. Sebab sebagai warga Negara yang taat hukum perpindahan penduduk ada mekinisme yang telah diatur oleh Negara,” akunya.

Pikiran kedua, terkait penyelesaian tapal batas yang diputuskan secara sepihak oleh Kesultanan dengan berpatokan pada batas alam, sehingga mendapat penolakan dari warga desa Tului, menurut dirinya, hal yang wajar dan masuk akal karena jika berpatokan dengan Permendagri Nomor : 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa sebagaimana disebutkan dalam BAB IV bahwa dalam hal penyelesaian sengketa tapal batas maka harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme pemerintahan secara berjenjang dan melalui Tim Penetapan dan Penegasan Batas Desa (PPB Des) yang meliputi pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Sedangkan pada Pasal 8 Tim PPB Des kabupaten/kota sebagaimana mempunyai fungsi:

Menginventarisasi dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lainnya yang berkaitan dengan batas desa, mengkaji dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lain untuk menentukan garis batas sementara di atas peta;

Merencanakan dan melaksanakan penetapan dan penegasan batas desa;

Mengoordinasikan pelaksanaan penetapan dan penegasan batas desa dengan instansi terkait;

Melakukan supervisi teknis/lapangan dan/atau pendampingan dalam penegasan batas desa;
melaksanakan sosialisasi penetapan dan penegasanbatas desa;

Mengusulkan dukungan dana dalam anggaran pendapatan belanja daerah kabupaten/kota untuk pelaksanaan penetapan dan penegasan batas desa;

Menyusun rancangan peraturan bupati tentang peta penetapan batas desa dan menyusun rancangan peraturan bupati tentang peta batas desa. Melaporkan semua kegiatan penetapan dan penegasan batas desa kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur.

“Tim PPB Des kabupaten/kota sebagaimana wajib berkoordinasi dengan Tim penegasan batas daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Sementara dalam BAB VI PENYELESAIAN PERSELISIHAN BATAS DESA dengan tegas menyebutkan bahwa “Penyelesaian perselisihan batas Desa antar Desa dalam satu wilayah kecamatan diselesaikan secara musyawarah/mufakat yang difasilitasi oleh Camat dituangkan dalam Berita Acara”

Olehnya itu, lanjut Karjo, jika pengacu peraturan perundangan-undangan tersebut, maka masalah tapal batas antara desa Tului dan desa Toseho, kecamatan Oba, kota Tidore Kepulauan, seluruhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah.

“Dan itu sudah selesai dilakukan, buktinya adalah beberapa waktu lalu Wakil Walikota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen turun ke lokasi dan telah melakukan musyawara/mufakat dengan masyarakat di dua desa dan sudah dinyatakan selesai,” bebernya.

Pemikirannya yang ketiga, soal pernyataan pihak Kesultanan tentang wilayah desa Tului lebih luas dari desa Toseho, bukan pokok persoalan yang harus dipersoalkan.

“Karena menurut saya, “Soal kemudian ada desa yang yang memiliki luas wilayah yang lebih besar dari desa lainnya adalah susuatu yang normal. Karena yang diamksud adil bukan harus sama,” tuturnya. (SS)