Oleh: Hasan Alghazaly
MEMBACA judul tulisan diatas, sepintas terbaca seperti sebuah kalimat berbahasa Inggris. Bila diartikan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah “cintaku” atau “aku cinta”.
Tetapi, siapa sangka judul tulisan ini tidak demikian artinya. Melove yang saya maksudkan dalam tulisan ini ialah sebuah kalimat yang berasal dari bahasa Weda-Patani dan Maba atau di Maluku Utara lebih dikenal dengan nama: Gam Range (daerah tiga negeri).
Melove atau Melovo dalam literasi dan tata bahasa masyarakat gam range diartikan sebagai “anak menantu”. Ia adalah semacam penyebutan atau predikat yang disematkan kepada seorang perempuan yang menikahi laki-laki berasal dari masyarakat gam range. Ia juga merupakan salah satu bagian tidak terpisahkan dari local wisdom (kearifan lokal) masyarakat setempat yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Secara substansial, local wisdom (kearifan lokal) adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai itu diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam berperikehidupan. Karenanya sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.
Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah, peribahasa, folklore), dan manuskrip.
Selain nilai etika moral yang bersumber pada agama, di Indonesia juga terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial. Kita mengenal pepatah ”gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian” yang mengimplikasikan ajakan untuk membangun etos kerja dan semangat untuk meraih keunggulan.
Begitu-pun dalam komunitas masyarakat gam range, terdapat pula nilai nilai etika dan moral yang dijadikan landasan agar bisa mengatur perilaku dan interaksi sosial antar warga masyarakat. Nilai nilai etika dan moral itu yang kemudian disebut dengan “Falsafah Fagogoru“.
Falsafah Fagogoru mengajarkan nilai-nilai yang jika di-Indonesia-kan ia memiliki makna tentang pengakuan persaudaraan, balas budi, sopan santun, hormat serta takut dan malu. Nilai-nilai inilah yang pada akhirnya menjadikan satu-satunya pandangan hidup (way of life) masyarakat gam range yang hingga kini masih dipelihara.
Dengan demikian, arti dan makna kandungan nilai-nilai yang tertuang dalam falsafah Fagogoru diatas telah meyakinkan kita bahwa masyarakat gam range adalah masyarakat yang telah lama melampaui peradaban.
Lalu bersamaan dengan itu, muncul pertanyaan, di posisi manakah Melove/Melovo itu ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengejewantahan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Fagogoru?
Jawaban sederhananya ialah salah satu bentuk aplikasi yang paling kongkrit untuk menterjemahkan, atau menghubungkan nilai yang terkandung dalam Falsafah Fagogoru, kaitannya dengan penyematan Melove/Melovo sebagai sebuah identitas yang melekat pada seorang anak menantu perempuan, dapat diwujudkan didalam sebuah prosesi adat perkawinan yang dinamakan dengan “fasugal” atau menerima anak menantu.
Fasugal didalam kultur masyarakat Halmahera Tengah dimaknai sebagai sebuah bentuk ekspresi kegembiraan, keterbukaan dan perlakuan baik atas kehadiran seorang Melove (anak menantu perempuan) ditengah tengah keluarga dan masyarakat. Biasanya ekspresi itu diwujudkan melalui tarian lalayon dan seserahan uang atau barang.
Penggambaran ekspresi sedemikian itu mencerminkan ke-eratan hubungan nilai nilai persaudaraan yang terbangun antara Melove disatu bagian dengan keluarga dan masyarakat gam range dibagian yang lain. Ia lantas akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan antara adat dan budaya gam range. Yang dalam prosesnya Ia lalu menjelma menjadi identitas dan budaya masyarakat hingga hari ini.
Patut disadari bahwa peradaban yang telah diwarisi leluhur gam range, harus tetap ditumbuh-kembangkan agar nilai nilai kultural itu tidak tergerus oleh zaman yang semakin canggih dan cenderung individualistik.
Karenanya harapan yang paling mula, ialah bahwa setiap kita yang mengaku terlahir dari “rahim” fagogoru hendaklah memiliki tanggung jawab bersama mempertahankan nilai nilai falsafah fagogoru agar tetap mampu bertahan dalam derasnya arus globalisasi dan teknologi.
Wassalam…
Sukran khairan katsiran.