Matahari mulai menyangkut di cakrawala senja. Siklus waktu mulai berubah, dari terang menjadi gelap. Suara adzan magrib mulai terdengar di tengah keramaian kota.
Lampu-lapu kegidupan mulai dinyalakan di sepanjang jalan. Kelelahan aktifitas mulai kembali pulang ke pangkuan rumah. Keringat yang mengalir mulai mengering, terserap oleh jubah-jubah yang warnanya mulai pudar ditelan waktu. Sepenggal asa disimpan dalam laci kamar yang ruangannya belum tertata rapi.
Gelap mulai menyelimuti. Rembulan malam nampak tak mampu memberikan cahaya. Di lihat trotoar jalanan dipenuhi dengan sampah-sampah yang berceceran. Deretan panjang pengguna kendaraan mulai berantrian di persimpangan lampu merah.
Para penjual kacang dan jagung rebus pelan-pelan mengayun sepeda mereka menuju sudut-sudut taman yang di hujani derasnya para pecinta heningan malam, seraya berharap dapat mengumpulkan pundi-pundi rezeki.
Mobil-mobil mewah terparkir begitu rapi diparkiran gedung berlantai. Senopati-senopati besar sibuk keluar masuk gedung. Ada yang sendirian, ada yang berpasangan, dan ada juga yang membentuk tim.
Begitulah rutinitas senopati-senopati berkantong tebal. Beragam mimpi bisa terbelikan. Asa dan harap bisa ditunaikan.
Detik waktu kian melaju, terlihat orang-orang tersebut telah lama terbiasa dengan kebisuan, saling pengertian tanpa ucapan, saling memahami tanpa selintas tatapan. Lalu, rindu mengalir di tengah-tengah keterasingan.
Di seberang lautan, terdengar tangisan petani yang bercampur dengan debur ombak. Air mata menetes di telapak tangan.
Mereka yang telah menuaikan kewajibannya sebagai produsen bagi masyarakat. Tapi hak mereka di rampas, menyimpang dari harapan, dan di rusak segala-galanya hanya karena loyalitas golongan. Merusak kemakmuran, merusak stabilitas masyarakat, dan merusak kemurnian nilai-nilai tradisional.
Di negeri dongeng ini, kehidupan petani jauh dari kemakmuran karena memang selalu dalam ancaman bahaya perampasan dan pergusuran ruang hidup. Harapan yang mereka lihati terbang menuju pada kenyataan, tapi sebenarnya kembali pulang dalam ke alam angan-angan.
Lalu, kepada siapa mereka menggantungkan harapan? Di saat para senopati-senopati negeri dongeng menutup mata dan telinga atas penderitaan yang kian mencekik. Di saat struktur social tersusun berdasarkan status dan kekayaan kian jauh merenggang.
Disaat komposisi yang mereka percayakan tak mampu memberikan nilai gizi bagi kehidupan mereka.
Kepada siapa mimpi ini bisa menjadi nyata? Ketika bunyi dan suara yang membentuk kata-kata dari senopati-senopati berparfum mewah tak lagi memberikan makna dan keyakinan. Ketika santunan kasih sayang mulai tercecer dari daftar undang-undang yang di tetapkan dan diterapkan.
Di kehidupan dongeng, mereka hanya ingin hidup dalam kedamaian, mereka hanya ingin hidup dalam ketenangan, dan mereka hanya ingin hidup dalam sederhanaan yang telah terjalin begitu lama.
Ternate, 27 november 2018
Muhammad Taufiq Al-thusi