Beranda Ruang Kita HMI dan Pembaharuan Pemikiran Islam

HMI dan Pembaharuan Pemikiran Islam

1616
0
Penulis

Refleksi atas pemikiran Cak Nur seputar Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, 3 Januari 1970

Oleh : Abd.Firman Bunta/Anggota Biasa HMI Cab Ternate

Siapa yang tak kenal sosok Cak Nur, yang banyak khalayak menobatkan beliau sebagai sang guru bangsa. Tentunya, penobatan demikian bukanlah tanpa alasan yang seketika ada. Penobatan itu hadir dalam menjawab krisis legitimasi pemikiran ditengah situasi dimana umat dan masyarakat Indonesia mencari format dalam hal menjemput era konsilidasi kebangsaan antara posisi umat dalam menghadapi pusaran zaman.

Ditengah kemarau gagasan itulah sosok generasi muda mencuat dgn metode baru dalam menghadapi situasi tersebut. Cak Nur yang paling senter pemikiran yang ditorehkan ketika sang figur ini mengumandangkan cita-cita pembaharuan pemikiran Islam.

Salah satu concern gagasan yang paling menakjubkan dimasa itu adalah mengenai karya Cak Nur tentang Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan masalah Integrasi Umat.

Karya ini pula merupakan teks paling autentik produk Cak Nur.
Melalui tulisan ini penulis hendak bermaksud mengrefleksikan seputar care gagasan itu, yang hemat penulis belakangan ini seolah kita utamanya kader HmI “hilang” dari tradisi-tradisi argumentatif pemikiran dari sosok Cak Nur.

Dari background yang melatari pemikiran ini hadir justru hemat penulis masih tetap kompatibel serta relevan terhadap potret dinamika umat hari ini. Paling tidak merefleksikan gagasan beliau menjadi nilai sejarah pemikiran kader HmI yang tidak pernah pupus dalam dinamika sejarah hari ini.

Dalam teks ”Risalah” pembaruan itu, Cak Nur mulai dengan menandaskan bahwa Islam di Indonesia sedang stagnan. Kaum Muslim menghadapi pilihan kritis: jalan pembaruan, yang meniscayakan peninjauan kembali makna Islam di dunia modern, dengan ongkos integrasi umat; atau pemeliharaan integrasi itu, dengan konsekuensi terus jumudnya pemikiran Islam dan hilangnya daya Islam sebagai moral force. Di ujung tulisannya ia mengusulkan proses liberalisasi berdimensi empat: sekularisasi, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Ada tiga faktor yang membuat gagasan pembaruan Cak Nur di atas memperoleh tantangan besar: (1) ajaran-ajaran kaum skripturalis yang lebih mudah diterima sebagian besar kaum Muslim; (2) kemungkinan aliansi politik kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain yang sedang tumbuh; dan (3) nafsu besar para politisi ambisius untuk membangun basis massa.

Ketiga faktor di atas cukup menjelaskan mengapa formalisasi Islam bergaung kencang belakangan ini. Mungkin kita perlu menambahkan beberapa faktor lain: ekonomi yang belum juga pulih yang dalam logika ekonomi sangat sarat modal investor.
Tentunya sekalipun faktor lain dominan yang paling mendasar adalah posisi umat dalam konteks kekinian. Harapannya adalah dari secuil tulisan ini penulis hendak berimajinasi dan berpendapat mungkinkah kader HMI perlu memformulasikan posisi umat ditengah gempuran kepentingan politik yang mengekang hari ini. Tentunya desas-desus politik memiliki sarat konsekuensi antara Aspirasi Umat dan hegemoni Negara.

Melalui catatan singkat ini penulis menghendaki adanya spontanitas kader HmI dalam mengrefleksikan gagasan-gagasan yang menjembatani posisi umat hari ini.

Ternate, 3 Januari 2018